top of page

Ulasan Kita

FOTO JAKARTABUNDERANHI.jpg

Rencana kepindahan ibu kota ke Kalimantan sudah diumumkan,

apakah ini berarti bahwa Jakarta sudah tidak layak lagi sebagai ibu kota negara?

oleh Evi Siregar

​

 

Hari Senin yang lalu, Presiden RI Joko Widodo mengumumkan secara resmi bahwa ibukota RI akan dipindahkan dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya di antara Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Berita ini tentunya bukan sebuah berita yang membuat kita kaget, sebab wacana pemindahan ibukota Jakarta sudah digembar-gemborkan beberapa waktu yang lalu, bahkan rencana ini sebenarnya sudah muncul sejak masa pemerintahan Presiden  Soekarno.

 

Kenapa ibu kota harus dipindahkan? Menurut penjelasan yang diberikan Presiden Joko Widodo, sebagai pusat pemerintahan, bisnis, keuangan, perdagangan, dan jasa, Jakarta menyangga beban yang sudah terlalu berat. Semua itu menyebabkan kemacetan lalu lintas yang sudah sangat sulit untuk diatasi, belum lagi ditambah dengan polusi udara dan air kota ini harus segera kita tangani yang luar biasa parahnya.

Kita pasti masih ingat pada tanggal 29 juli yang lalu kita terkejut ketika keluar berita bahwa pada pagi itu Jakarta tercatat menjadi kota yang memiliki tingkat polusi udara tertinggi di dunia. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

 

Selama ini banyak orang Indonesia yang selalu mencemoohkan kota-kota seperti New Delhi, Shanghai, Mexico City, dan lainnya sebagai kota yang tidak sehat dan menakutkan untuk didatangi karena tingkat polusi udaranya yang begitu tinggi. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya sejak lama Jakarta pun merupakan kota yang memiliki masalah polusi udara, dan keadaannya semakin memprihatinkan. Ketidaksadaran atau ketidaktahuan mereka mungkin disebabkan karena tidak tersedianya informasi publik yang cukup lengkap, ditambah dengan tak ada ketertarikan untuk mengetahuinya.

 

Sebenarnya mudah saja mengetahui bagaimana kualitas udara di kota Jakarta, cukup dengan klik pada apps Iklim di Smartphone. The Weather Channel menawarkan informasi tersebut kepada kita, dan kita dapat mengetahui elemen apa yang menjadi penyebab polusi udara kota Jakarta setiap harinya. Selain The Weather Channel, AQI juga memberikan informasi yang cukup rinci mengenai kualitas udara, bahkan lebih lengkap.

 

Kalau kita melihat data tentang kualitas udara di Jakarta dalam satu tahun terakhir dan 30 hari terakhir, kita mungkin tidak percaya bahwa polusi udara di Jakarta sudah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas dan beberapa koleganya pernah membuat sebuah penelitian mengenai kualitas udara di Jakarta. Dari hasil penelitian itu ditemukan dalam air hujan yang turun selama tahun 2000-2016 kandungan elemen-elemen seperti SO4, NO3, Ca2, NH4, Cl, Mg2, Na, dan K. Seperti yang diketahui, sulfur dan asam nitrat adalah bahan utama penyebab pengasaman. Sebagai hasil dari pembakaran batu bara dan minyak dari kendaraan dan industri, belerang dioksida dan nitrogen oksida ketika bercampur dengan hujan akan bereaksi dan membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang disimpan di bumi. Asam sulfat adalah prekursor pengendapan asam dan memainkan peran penting untuk menurunkan pH.

 

Konsentrasi kalsium dan amonium yang cukup tinggi juga ditemukan pada air hujan di Jakarta. Kalsium dan Magnesium berasal dari debu jalan, debu konstruksi, dan debu mineral yang berasal dari luar kota, sementara ekskresi manusia dan hewan merupakan penyebab terbentuknya NH4. Penggunaan pupuk sebagai bagian dari kegiatan pertanian juga berkontribusi terhadap emisi amonium dalam jumlah besar, tetapi ini kelihatannya bukan menjadi penyebab masalah polusi udara di Jakarta sebagai kota perkotaan. Emisi dari tempat pembakaran batu bata dan kendaraan bisa menjadi sumber amonium di Jakarta karena ada sejumlah industri batu bata yang ditemukan di wilayah Jakarta dan Bekasi.

 

Hasil penelitian Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas dkk tersebut mengkonfirmasi laporan yang dibuat The Weather Channel dan AQI, bahwa yang menjadi masalah polusi udara di Jakarta adalah PM2,5. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa besar bahaya yang diakibatkan PM2,5? WHO memberikan kategori PM2,5 sebagai partikel yang paling berbahaya bagi kesehatan, karena dalam waktu panjang dapat menyebabkan penyakit kanker, misalnya kanker paru-paru. Partikel PM2,5 dengan mudah dapat masuk ke dalam tubuh ketika bernafas, dan langsung masuk ke dalam paru-paru karena dibawa oleh lendir. Tingkat polusi udara yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian bagi orang-orang yang rentan. Sebenarnya semua orang berisiko, tetapi bayi dan orang tua berada dalam bahaya yang lebih besar.

 

Kalau kita membaca kembali laporan penelitian Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas dkk, masalah yang dihadapi kota Jakarta sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Mexico City, yaitu kendaraan dan industri. Namun, kondisi Mexico City tak seburuk Jakarta. Tak adanya rencana pembuatan kota yang baik mengakibatkan masalah yang dihadapi Jakarta sudah mencapai tingkat yang sulit untuk dihadapi. Meskipun demikian, Presiden Joko Widodo tidak menyalahkan Pemprov DKI Jakarta; sebab, masalah yang dihadapi Jakarta merupakan dampak dari pembangunan perekonomian Indonesia yang hanya berfokus pada Jakarta dan Pulau Jawa. Jadi, disini juga ada masalah tentang kesenjangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa yang terus meningkat, meskipun sejak 2001 sudah dilakukan otonomi daerah. Akibatnya, beban Pulau Jawa juga semakin berat. Jumlah penduduknya sudah 150 juta atau 54 persen dari total penduduk Indonesia, dan 58 persen PDB ekonomi Indonesia ada di Pulau Jawa. Hal ini tentunya tidak dapat dibiarkan berlarut-larut.

​

Selain memberikan penjelasan mengenai mengapa ibu kota harus dipindahkan, Presiden Joko Widodo juga menerangkan bahwa pemerintah pusat sudah melakukan kajian-kajian dengan studi lapangan dan menyimpulkan bahwa lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Mengapa? Pertama, risiko bencana alam (seperti banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi, dan tanah longsor) kecil. Kedua, lokasinya strategis, karena tepat berada di tengah-tengah wilayah Indonesia. Ketiga, lokasinya berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yaitu Balikpapan dan Samarinda. Keempat, wilayah ini telah memiliki infrastruktur yang relatif lengkap. Kelima, telah tersedia lahan yang dimiliki pemerintah seluas 180 ribu hektare.

​

Maket ibukota baru.jpg

Berdasarkan catatan lain disebutkan bahwa Kabupaten Penajam Paser Utara memiliki luas wilayah sebesar 3.333 km² dan jumlah penduduk 190.536 jiwa yang 94% masyarakatnya memeluk agama Islam. Wilayah ini memiliki sumber daya alam, mulai dari pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan hingga pertambangan, yang tinggi. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah yang lebih dan penduduk yang lebih besar, yaitu 27.263 km² dan 655.167 jiwa yang 92% masyarakatnya memeluk agama Islam. Wilayah ini memiliki sumber daya alam minyak, gas bumi, pertambangan dan pertanian yang baik. Samarinda sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Timur merupakan kota yang cukup berkembang, sementara Balikpapan sudah menjadi kota pelabuhan penting di Indonesia. Kedua kota besar itu akan dapat mendukung pembangunan ibu kota baru. Kedua kota tersebut jauh dari masalah polusi udara dan air.

​

Lalu, setelah ibu kota pindah ke Provinsi Kalimantan Timur, bagaimana nasib kota Jakarta? Menurut penjelasan Presiden Joko Widodo, Jakarta akan tetap menjadi prioritas pembangunan, dan akan terus dikembangkan menjadi kota bisnis, kota keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa berskala regional dan global. Rencana Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan urban regeneration yang dianggarkan sebesar Rp571 triliun tetap dijalankan.

​

Foto Kredit 1: Evi Siregar

Foto Kredit 2: Dokumen Kemen PUPR

​

==========================================================================================================================

​

03 Ulasan - Foto Pak Cheppy celup jari.J

Pemilu dan Demokrasi di mata Bapak Cheppy T Wartono

​

Pesta demokrasi di Indonesia berlangsung serentak pada tanggal 17 April 2019 untuk memilih para anggota dewan legislatif DPR dan Presiden/Wakil Presiden. Tetapi WNI di luar negeri, dalam hal ini di Mexico, Belize, Guatemala dan El Salvador, mendapat kesempatan untuk melakukan pemungutan suara langsung lebih dulu pada tanggal 13 April 2019 di TPSLN yang berlokasi di KBRI Mexico City. Sedangkan pemungutan suara yang dilakukan melalui POS bagi WNI yang berdomisili jauh dari TPSLN dilakukan beberapa waktu sebelumnya. Dan proses penghitungan suara dilakukan pada tanggal 17 April 2019, baik suara yang terkumpul melalui POS maupun melalui TPSLN.

Di sela-sela pesta demokrasi masyarakat Indonesia di Mexico, Redaksi Soerat Kabar mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan  Bapak Cheppy T Wartono, Duta Besar Indonesia untuk Mexico, Belize, Guatemala dan El Salvador.

​

Pemilu dan Demokrasi

 

Mengawali perbincangan kami di suatu hari Sabtu yang cerah, Bapak Cheppy mengatakan bahwa demokrasi adalah bagian dari membangun suatu pemerintahan yang baik, memberikan ruang bagi masyarakat untuk lebih mengerti dan berpartisipasi dengan aktif di dalam membangun Republik Indonesia.

​

Pak Cheppy menilai demokrasi di Indonesia saat ini sudah dewasa. Demokrasi yang dipilih oleh rakyat di era 1998 adalah untuk mengajak seluruh masyarakat untuk berpartisipasi penuh dengan jujur, adil, bersih dan diberikan hak sepenuhnya untuk memilih pemimpin-pemimpinnya.

 

Pria kelahiran Jakarta, 17 Maret 1967 menambahkan bahwa demokrasi merupakan satu-satunya cara terbaik untuk membangun Indonesia. Selain itu, beliau juga menilai pola pikir yang perlu diterapkan kepada masyarakat adalah bahwa Pemilu merupakan sarana mencari pemimpin, bukan seolah-olah Pemilu itu mengambil kekuasaan untuk seumur hidup. Bahkan Pemilu bukan pertarungan akhir di dalam suatu proses demokrasi yang ada di suatu negara. Oleh karena itu, kita sebagai Warga Negara Indonesia harus menjaga betul supaya Pemilu ini berjalan baik, edukatif, dewasa, lebih cerdas dan demokratis.

​

Pengalaman Pemilu di Indonesia dan di Luar Negeri, khususnya di Mexico City

 

Sebelum mengikuti dan berpartisipasi pada Pemilu di Mexico tahun ini, pak Cheppy yang baru menyelesaikan membaca buku tentang Bung Karno, pernah merasakan mengikuti Pemilu di Belgia dan juga tentu di Indonesia sendiri. Menurut pengalamannya, mengikuti Pemilu di luar negeri terasa lebih guyub dan kekeluargaan karena jumlah WNI tidak terlalu banyak. Selain itu juga para WNI juga bergotong royong untuk menciptakan sarana dan prasarana Pemilu agar terlaksana dengan baik.

​

Penyuka musik jazz ini membagi pengalamannya mengikuti Pemilu di Mexico sejak pagi hari. Beliau menilai cukup baik, antusias masyarakat tinggi dan kita bersama-sama menunggu sampai pemungutan suara selesai proses penghitungan suara berjalan lancar dan baik.

Lain dengan di Indonesia yang terasa sekali jarak antar pendukung yang berbeda pilihan. Selain itu yang dirasakan juga adalah masyarakat kurang terlibat pada pelaksanaannya. Hanya datang ke TPS, memilih lalu pulang.

Pak Cheppy yang menyukai warna merah, hitam dan putih ini menjelaskan lebih jauh pengalamannya ikut Pemilu dan juga terjun langsung ke daerah pemukiman yang padat penduduknya, bahwa pertarungan Pemilu yang berbeda kubu sangat kuat bahkan ada ketegangan antar kelompok tertentu.

​

Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika

 

Bukan tanpa alasan jika Pak Cheppy yang menyukai olahraga bowling dan berorganisasi ini mengingatkan bahwa bangsa Indonesia dibangun dengan susah payah dengan melampaui berbagai peristiwa, seperti di era Bung Tomo tahun 1928, tahun 1945, tahun 1965, tahun 1998 hingga saat ini. Pancasila sebagai benteng harus kita jaga dan kita pertahankan. Selain itu, Indonesia sebagai satu-satunya negara di dunia yang memiliki 17 ribu pulau, memiliki berbagai macam suku, ras dan agama yang harus kita jaga bersama dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Di akhir perbincangan, beliau berpesan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri, bahwa Pemilu kali ini dan di masa mendatang walaupun berbeda pilihan, kita harus tetap menjaga ukhuwah Islamiyah, menjaga tali silaturahmi serta menjaga hubungan antar umat bangsa ini dengan baik.

​

Wawancara: Moestaryanti Puruhita

Foto: Addi Setyawan, KBRI Mexico City

​

==========================================================================================================================

​

03 Ulasan - kolase Pak Sigit.jpg

Bapak Sigit Joyowardono

Kepala Biro Hukum Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia

oleh Moestaryanti Puruhita

​

Pada akhir bulan Februari lalu, Meksiko kedatangan beberapa tamu istimewa. Salah satunya adalah Bbapak Sigit Joyowardono yang akrab disapa Pak Sigit. Setelah beberapa hari menjadi pembicara dalam acara Bimtek Penyelenggaraan Pemilu bagi Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) yang dihadiri oleh seluruh PPLN Amerika Latin, pria kelahiran Yogyakarta ini bersedia meluangkan waktu berbincang – bincang dengan Redaksi Soerat Kabar.

​

Ingin belajar tentang mekanisme Pemilu di Meksiko

Menurut Pak Sigit, sesungguhnya sejak pasca reformasi tahun 1998, Indonesia sampai saat ini masih perlu untuk meningkatkan kualitas hasil Pemilu melalui penyempurnaan berbagai proses tahapan Pemilu dan sistem Pemilu yang ideal dan cocok dengan kondisi Indonesia mengingat berbagai keragaman yang ada diantaranya berbagai adat, budaya, suku, agama dan kondisi geografis yang terdiri banyak kepulauan tidak mudah membangun proses demokrasi melalui Pemilu dengan baik, meskipun dengan situasi yang demikian Indonesia mampu menyelenggarakan Pemilu dengan baik, bahkan banyak negara yang ingin belajar tentang Pemilu di Indonesia. Kondisi demikian barangkali juga terjadi di beberapa negara lain yang juga sedang berkembang.

Pak Sigit yang menempuh pendidikan formalnya di bidang Hukum UGM Yogyakarta ini ingin sekali mempelajari tentang Pemilu di Meksiko yaitu tentang sistem Pemilu yang digunakan, khususnya metode pendataan kependudukan dan pemilih, sistem kepartaian, metode penentuan daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemungutan suara dan penghitungan suara, serta metode penetapan perolehan kursi partai politik dan penetapan calon terpilih anggota legislatif. Karena jika dipelajari, mungkin saja ada prinsip-prinsip dasar metode-metode tersebut yang bisa diserap dan dikembangkan dengan penyempurnaan sesuai kondisi di Indonesia, sehingga upaya peningkatan kualitas proses pelaksanaan tahapan Pemilu dapat lebih dipercaya oleh peserta Pemilu dan masyarakat, serta hasilnya benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat dan legitimasi wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif diharapkan cukup tinggi.

​

Menjadi Arsitek Pemilu

Jika dilahirkan kembali karena tidak lama lagi akan memasuki masa purna tugas/pensiun Pak Sigit ingin menjadi arsitek Pemilu. Cita-citanya bukan tanpa alasan. Karena sudah berkecimpung di KPU sejak tahun 1989, Pak Sigit yang menyukai warna merah kecoklatan ini merasakan pentingnya dibangun single identity, karena persoalan kependudukan sampai saat ini masih menjadi masalah utama dan penyumbang persengketaan yang tidak mudah terselesaikan dari Pemilu ke Pemilu. Dengan demikian kerepotan KPU untuk mendata penduduk dan pemilih terbantu dengan sistem kependudukan yang beridentitas tunggal. Sehingga tingkat kepercayaan masyarakat dan peserta Pemilu terhadap pelaksanaan tahapan Pemilu semakin meningkat. Dengan sistem pendataan penduduk dan pemilih yang sudah terbangun baik serta tentu harus menggunakan sarana teknologi yang baik pula maka proses penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi legislatif, proses pemungutan suara dan penghitungan suara sampai dengan proses penetapan perolehan kursi partai politik dan penetapan calon terpilih dapat dilakukan dengan cepat dan terhindar dari upaya-upaya kecurangan. Dengan saran teknologi yang terbangun baik tersebut, suatu saat nanti pemberian suara di TPS tidak perlu lagi kertas suara dan dapat dilakukan dimana saja. Tidak perlu lagi formulir untuk penghitungan suara dan rekapitulasi suara, tidak perlu lagi alat kelengkapan administrasi di TPS dan PPK. Dengan kata lain pemungutan suara dengan teknologi e-voting dan e-counting sudah mulai harus diterapkan.

Selain itu, tidak hanya untuk kepentingan data pemilih pemilu, identitas tunggal juga bisa diterapkan untuk urusan lain dari berbagai instansi misal pemerintah, bank, transportasi, sekolah dan aparat keamanan serta bisa menjadi data yang merupakan rekam jejak penduduk yang bersangkutan.

Dari sekian banyaknya melakukan sosialisasi pemilu ke luar negeri dan bertemu warga negara Indonesia di luar negeri, Pak Sigit mendengar ide langsung bahwa kebanyakan WNI menginginkan sarana teknologi untuk proses pemungutan suara, sehingga mereka tidak perlu datang ke TPSLN atau menunggu kiriman surat suara bagi mereka yang bertempat tinggal jauh dari KBRI atau KJRI.

Pak Sigit yang hobi melukis dan bermain gitar ini mengakui bahwa salah satu tugas yang cukup berat yang dirasakan selama berada di KPU adalah memberikan edukasi dan meyakinkan kepada peserta pemilu dalam hal ini adalah partai politik untuk menerapkan sarana teknologi dalam sistem pemungutan dan penghitungan suara serta menumbuhkan kepercayaan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu.

​

Pengalaman di KPU

Selama wawancara berlangsung, redaksi Soerat Kabar dapat merasakan semangat Pak Sigit atas dedikasinya di KPU. Pengalamannya di KPU sejak tahun 1989 terbiasa menghadapi kendala dan masalah serta mencari jalan keluar masalah – masalah yang dihadapi. Beliau memberikan beberapa contoh bahwa belum lama ini KPU pernah dikritik tentang ketidakakuratan data pemilih, dituduh mengenai kualitas dan keamanan kotak suara dan issue (hoax) surat suara sudah beredar dan telah tercoblos sementara pada saat itu KPU belum mencetak surat suara. Nampaknya, kendala dan hambatan tersebut tidak menyurutkan niatnya tetap terus berkarya di KPU. Dengan semangatnya, beliau bercerita bahwa dengan berkarya dan mengabdi kepada pemerintah dan negara melalui Pemilu dalam membantu merumuskan hal-hal teknis pelaksanaan tahapan Pemilu dalam berbagai bentuk rumusan hukum PKPU, cukup merasa puas meski cita-cita yang diharapkan belum sepenuhnya terpenuhi karena tidak lama lagi sudah harus memasuki masa purna tugas.

​

Pemilu sebagai Pesta Demokrasi

Selama masa karier beliau di KPU, pria yang suka mendengarkan alunan musik dari beberapa grup musik, antara lain Bee Gees dan The Beatles ini, melihat perkembangan antusias masyarakat semakin tinggi untuk mengikuti Pemilu. Karena itu, antusias tersebut harus diakomodasi dan disambut baik dengan semakin ditingkatkan kegiatan sosialisasi tentang pentingnya peran serta dalam Pemilu dan disadarkan tentang peran pemilih dalam setiap proses tahapan Pemilu. Pemilu memang dikenal dengan pesta demokrasi. Definisi pesta demokrasi menurut Pak Sigit ditinjau dari aspek penyelenggaraan Pemilu adalah bahwa seluruh organ pemerintah dan aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab bersama sesuai fungsi dan tugasnya dalam melaksanakan dan mengawal proses pelaksanaan Pemilu, bukan saja hanya KPU yang memang menurut Undang-Undang tentang Pemilu diserahi tugas untuk menyelenggarakan Pemilu. Selain itu Pak Sigit juga menegaskan bahwa KPU merupakan lembaga nonstruktural dan independen, di luar jajaran struktur pemerintahan yang harus tetap terjaga kemandiriannya, integritasnya dan tetap harus profesional dalam menjalankan tugas dan kewenangannya mengantarkan para pemimpin bangsa melalui Pemilu yang demokratis tersebut.

​

3 Kata tentang Pemilu

Tak terasa waktu berlalu di pagi hari yang cerah di Meksiko. Di akhir wawancara, Pak Sigit memberikan 3 kata untuk Pemilu, yaitu: profesional, integritas, dan independen. Salam Pemilu!

​

Wawancara : Moestaryanti Puruhita

Foto: Addi Setyawan, Evi Siregar

 

==========================================================================================================================

​

IMG_1222.jpg

MEXICO CITY DAN SEGALA YANG DIMILIKINYA

Oleh Evi Siregar

​

Mexico City (Ciudad de México dalam bahasa spanyol) adalah ibukota negara Meksiko. Luas wilayah Mexico City yang mencapai 1495 km2 (0,08% dari keseluruhan wilayah negara Meksiko), membuat kota ini menjadi salah satu kota terbesar di dunia (belum lagi jika ditambah wilayah sekitarnya yang membentuk kota metropolitan). Menurut data INEGI (badan statistik nasional Meksiko), pada tahun 2015 jumlah penduduk Mexico City mencapai 9 juta jiwa (7,5% dari dari keseluruhan penduduk Meksiko) dan terdapat lebih dari 2,6 juta tempat tinggal (rumah, apartemen, dsb). Sektor perdagangan merupakan aktivitas yang mendominasi perekonomian kota ini; pada tahun 2017 tercatat bahwa GDP nominal Mexico City mencapai 3.409.016 juta pesos (16.5% dari GDP nominal nasional).

 

Tidak ada kesepakatan mengenai tanggal pendirian kota ini. Akan tetapi, mayoritas merujuk pada awal abad ke-14, yang dihubungkan dengan masa pembentukan Nueva España (Spanyol Baru, yaitu wilayah jajahan Spanyol di Amerika Latin) setelah berhasil menaklukkan México-Tenochtitlan, ibukota Imperium Mexica (baca: me-syi-ka). Pada tanggal 13 Agustus 1521 Imperium Mexica dikalahkan oleh orang-orang Spanyol yang dipimpin Hernán Cortés, dan sejak itu dimulailah masa Nueva España atau Virreinal (nama lengkapnya Virreinato de Nueva España atau Viceroyalty of New Spain). Hernán Corteslah yang kemudian menyebut kota ini dengan nama Ciudad de México (mungkin karena tak dapat melafalkan kata México-Tenochtitlan) dan menjadi ibukota Virreinato de Nueva España. Setelah Meksiko merdeka, tepatnya pada tahun 1824, kota ini diberi nama México Distrito Federal atau México DF (semacam daerah khusus ibukota), sampai pada tanggal 28 Januari 2016 (karena ada reformasi politik untuk menyamakan kota ini dengan entitas lainnya di Meksiko) ketika berubah nama menjadi Ciudad de México (Mexico City).

​

Wilayah Mexico City merupakan sebuah lembah yang dikelilingi gunung. Itu sebabnya kota ini mendapat julukan Valle de México (Lembah Meksiko). Namun, bukan karena bentuknya lembah, lantas kita berpikir bahwa kota ini berdataran rendah. Banyak orang asing yang salah menduga karena itu, dan mereka berpikir bahwa Mexico City beriklim panas. Kenyataannya, wilayah ini berada pada ketinggian 2200 m di atas permukaan laut. Posisi matahari juga berbeda dibandingkan dengan kota-kota lain di Meksiko (khususnya di bagian tenggara). Oleh sebab itu, meskipun sinar matahari begitu terik pada waktu musim panas, Mexico City tidaklah sepanas kota Acapulco, Veracruz, Merida, atau Colima. Umumnya suhu udara di Mexico City pada musim panas kurang lebih antara 12 derajat Celcius (titik terendah) dan 26 derajat Celcius (titik tertinggi, biasanya pada bulan Juni, itupun biasanya hanya terjadi selama dua minggu). Meskipun titik tertinggi mencapai 26 derajat Celcius (pada siang hari), temperatur di dalam ruangan biasanya sejuk. Pada musim dingin (terutama selama bulan Desember-Januari) suhu udara umumnya berada kurang lebih antara 5 derajat Celcius (titik terendah) dan 24 derajat Celcius (titik tertinggi). Meskipun titik tertinggi bisa mencapai 24 derajat Celcius (pada siang hari), temperatur di dalam ruangan biasanya tetap dingin. Mexico City tidak pernah bersalju selama musim dingin. Namun, berdasarkan catatan, pada tahun 1967 salju pernah turun di kota ini.

​

Secara umum sepanjang tahun iklim di Mexico City sejuk (untuk orang Indonesia mungkin dapat dikatakan dingin). Pada waktu pagi hari suhu udara biasanya rendah, naik pada siang hari, lalu turun lagi pada malam hari. Itu sebabnya, penduduk Mexico City selalu memakai (paling tidak membawa) jaket setiap hari (dan sepanjang tahun). Hal yang perlu digarisbawahi mengenai suhu udara di Mexico City adalah bahwa panas/terik matahari pada umumnya tidak menembus ruangan (akibat posisi matahari), sehingga suhu di dalam ruangan biasanya sejuk atau dingin. Jadi, tak heran jika penduduk Mexico City selalu memakai sepatu di dalam rumah (untuk menjaga agar tidak masuk angin).

​

Ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yang merupakan masalah utama kota Mexico City. Yang pertama adalah polusi udara yang cukup serius. Sebagai contoh, selama tahun 2018 udara Mexico City memiliki skala polusi udara yang sangat tinggi. Apa yang menyebabkan polusi udara di kota ini menjadi begitu serius? Jumlah penduduk yang tinggi, kota lembah, ketinggian, dan suhu udara merupakan faktor-faktor yang memicu terjadinya polusi udara yang serius. Jumlah penduduk Mexico City sangat tinggi dan terdapat 2,6 juta tempat tinggal. Jika setiap tempat tinggal memiliki 1 kendaraan pribadi saja, maka ada 2,6 juta kendaraan di kota ini. Menurut catatan INEGI, kendaraan yang bersirkulasi di Mexico City dan sekitarnya mencapai 4,7 juta. Meskipun pemerintah Mexico City sudah memiliki banyak program untuk dapat menyelesaikan masalah polusi udara di kota ini, seperti formulasi ulang bensin, verifikasi wajib kendaraan dan program Hoy No Circula (Hari Ini Mobil Tidak Bisa Keluar), relokasi industri, kampanye pendidikan jalan, program restorasi dan konservasi area hijau dan perubahan peraturan lalu lintas dan lingkungan, tampaknya belum cukup.

 

Asap kendaraan merupakan faktor utama penyebab terjadinya polusi udara di kota ini (terutama S02 yang merupakan hasil pembakaran bahan bakar kendaraan). Di tambah lagi faktor-faktor yang lain, seperti asap dan limbah pabrik, asap pembakaran, serbuk dari tanaman, spora jamur dan kulit yang keluar dari tubuh atau kotoran, oksida logam, menyebabkan kualitas udara di kota ini semakin buruk. Dampak dari hal tersebut tidak lain adalah turunnya kualitas kesehatan penduduk; paling tidak udara yang kotor itu menyerang sistem pernapasan. Itu sebabnya pemerintah Mexico City selalu mengingatkan untuk: vaksin influenza (terutama bagi anak-anak dan lansia pada musim dingin), memakai baju hangat dan menutup muka dan kepala, mencuci tangan sesering mungkin, jika naik kendaraan umum menggunakan gel antibakteri untuk membersihkan tangan dan jangan menggunakan tangan untuk menggosok mata, hidung dan telinga, dan jika merasa sakit pergi ke puskesmas terdekat. Pemerintah Mexico City juga selalu memberikan informasi mengenai skala pencemaran udara dan melarang melakukan aktivitas di udara terbuka jika skala pencemaran udara mencapai titik di atas 9 atau jika ada kontingensi lingkungan. Dianjurkan pula untuk pergi keluar kota secara berkala.

​

Yang kedua adalah gempa bumi. Meksiko (terutama zona tengah dan timur/tenggara, termasuk juga Mexico City) merupakan wilayah yang rentan gempa bumi. Itu sebabnya pengetahuan mengenai gempa bumi sangatlah penting. Mengenai hal ini, secara umum dapat dinilai bahwa penduduk Mexico City memiliki pengetahuan yang cukup tinggi tentang gempa bumi. Sosialisasi mengenai gempa bumi sangat efektif (masyarakat tahu bagaimana menghadapi bencana gempa bumi). Alarm kota pun berfungsi dengan baik. Setelah terjadi gempa bumi pada 19 September 2017, pemerintah Mexico City pun semakin ketat dalam memberikan ijin membangun perumahan dan gedung di kota ini.

​

Meskipun Mexico City memiliki masalah besar seperti yang diuraikan di atas, kota ini merupakan kota yang menarik untuk dikunjungi. Baru-baru ini NatGeo meluncurkan hasil observasi mereka tentang kota yang patut dikunjungi pada tahun 2019. Mereka meluncurkan daftar 32 kota dan salah satu dari 32 kota tersebut adalah Mexico City (berada pada urutan pertama). Mengapa? Yang membuat Mexico City pantas menjadi tujuan turisme 2019 adalah karena memiliki kekayaan kuliner dan restauran bergengsi tingkat dunia. Kalau kita mengecek daftar The World’s 50 Best Restaurants, tercatat dua restauran yang terletak di Mexico City: Pujol (didirikan pada tahun 2000 oleh Chef Enrique Olvera) dan Quitonil (didirikan tahun 2012 oleh Chef Jorge Vallejo). Kedua restauran tersebut terletak di Polanco, sebuah kawasan elit di Mexico City.

​

Mexico City juga memiliki tempat-tempat yang bertaraf internasional, seperti: Museo Nacional de Antropología (salah satu museum terpenting di Amerika Latin), Palacio de Bellas Artes (rumah opera bertaraf internasional), dan Sala Nezahualcóyotl (rumah opera terbaik di Amerika Latin). Dalam hal pendidikan tinggi, setidaknya ada 4 perguruan tinggi negeri yang sering mendapat penghargaan internasional, yaitu: Universidad Autónoma de México (UNAM) yang memiliki lebih dari 316 ribu mahasiswa, Instituto Politécnico Nacional (IPN) yang memiliki hampir 188 ribu mahasiswa, Universidad Autónoma Metropolitana (UAM) yang memiliki hampir 54 ribu mahasiswa, dan El Colegio de México (Colmex) yang hanya memiliki 460 mahasiswa.

​

Kemajuan lain yang dimiliki kota Mexico City yang perlu catat adalah sistema tranportasi kereta listrik bawah tanah, yang dikenal dengan nama Metro. Metro diresmikan pada tanggal 4 Sepember 1969. Sampai saat ini kereta listrik bawah tanah ini memiliki jalur sepanjang 226 km (termasuk yang sedang dalam pembangunan) yang menghubungkan Mexico City dengan Estado de México. Sistem transportasi kereta listrik ini memiliki 12 line, 195 stasiun (184 di Mexico City dan 11 di Estado de México), 3333 gerbong kereta dengan kapasitas 1530 orang per kereta, serta mengangkut 8 juta orang setiap harinya. Untuk menambah kelancaran mobilitas di kota ini, pada tanggal 19 Juni 2005 pemerintah Mexico City meresmikan penggunaan Metrobus (sama seperti TransJakarta). Panjang jalur Metrobus mencapai 125 km, memiliki 239 stasiun, dan mengangkut lebih dari satu setengah juta orang setiap harinya. Pada tahun 2007 Metrobus Mexico City menerima World Leadership Award yang diberikan oleh World Leadership Forum, yang berbasis di London. World Leadership Forum memberikan penghargaan terhadap proyek-proyek terbaik di bidang teknik sipil dan arsitektur, komunikasi, perencanaan kota, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta transportasi.

​

Foto Kredit: Evi Siregar

​

==========================================================================================================================

​

Hari Ibu 22 Desember, Hari Perempuan Indonesia

Oleh Evi Siregar

 

Di Indonesia Hari Ibu yang diperingati pada setiap tanggal 22 Desember merupakan salah satu hari nasional, tetapi bukan hari libur. Ada beberapa hal yang perlu diluruskan mengenai peringatan Hari Ibu 22 Desember ini. Salah satunya adalah bahwa di Indonesia tanggal 22 Desember bukanlah merupakan perayaan hari Ibu yang dalam bahasa inggrisnya mother’s day. Seperti yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise, peringatan Hari Ibu di Indonesia dilakukan untuk mengenang perjuangan kaum perempuan, yang telah berjuang bersama laki-laki dalam merebut kemerdekaan Indonesia.

 

Latar belakang peringatan Hari Ibu 22 Desember


Awal perjuangan kaum perempuan (secara nasional) di Indonesia merupakan bagian dari gerakan kelahiran nasionalisme Indonesia pada akhir abad ke-19. Pada awalnya perjuangan kaum perempuan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan kaum laki-laki. Ketika para pemuda Indonesia berhasil membuat deklarasi Sumpah Pemuda di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928, kaum perempuan segera mengusulkan untuk menyelenggarakan pertemuan yang bersifat nasional. Pada tanggal 22 Desember 1928 untuk pertama kalinya kaum perempuan berhasil menyelenggarakan Kongres Perempuan Pertama. Kongres ini diselenggarakan di Yogyakarta, di Pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero.
 

Pada kongres pertama ini hadir sekitar 600 perempuan dari berbagai organisasi, di antaranya Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, Perempuan Sarekat Islam, Darmo Laksmi, Perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, dan Wanita Taman Siswa. Kongres ini juga dihadiri wakil-wakil dari berbagai perkumpulan nasional, seperti Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond, serta tokoh-tokoh penting gerakan nasionalisme Indonesia seperti Mr. Singgih, Dr. Soepomo (Boedi Oetomo), Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), dan A.D. Haani (Walfadjri).

 

Tema-tema yang dibahas dalam kongres tersebut hampir seluruhnya mengenai perempuan, di antaranya mengenai perkawinan anak (oleh Perkumpukan Moega Roemah), derajat dan harga diri perempuan Jawa (oleh Perkumpulan Poetri Boedi Sedjati), derajat perempuan (oleh Siti Moendji'ah), adab perempuan (oleh Nyi Hajar Dewantara). Hal yang juga penting disebutkan adalah pidato wakil dari Perkumkupan Darmo Laksmi yang berjudul “Iboe”. Di dalam pidato itu diceritakan mengenai diskriminasi terhadap anak perempuan, terutama dalam hal pendidikan, sebab pada waktu itu hanya anak laki-laki yang menjadi prioritas. Perempuan dianggap tak pantas untuk dapat mendapatkan pendidikan sekolah format, karena pada akhirnya tugasnya hanyalah mengurusi perihal dapur. Dalam konteks inilah peran ibu sangat penting, sebab dialah satu-satunya yang memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada anak perempuan. Pesan yang disampaikan sangat jelas, bahwa seorang ibu harus memiliki pengetahuan yang cukup agar dapat mendidik anak-anak perempuannya. Ketika anak dikandung oleh seorang ibu, itulah waktu yang seberat-beratnya, karena itulah pendidikan Ibu yang mula-mula sekali kepada anaknya. Jika perempuan sudah bodoh, pendidikan terhadap anak yang dikandung dan dibesarkannya sebetulnya terancam. Jadi, tugas seorang ibu amatlah besar. Itu pula mengapa sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang dilakukan Rohana Koedoes, Kartini, dan Dewi Sartika memiliki peran yang sangat penting. Ibu yang pintar dan cerdas merupakan modal yang penting untuk menjadikan anaknya pandai. Dari anak-anak yang pandai, pada masa depan akan tercipta kehidupan sebuah masyarakat yang lebih baik. Pergerakan nasional Indonesia memerlukan anak-anak yang pandai, yang tercipta dari ibu-ibu yang pintar dan cerdas. Dari sinilah lahir konteks mengenai peran Ibu, yang kemudian diambil menjadi dasar peringatan Hari Ibu.

 

Dalam Kongres Perempuan Pertama, perkumpulan dan organisasi perempuan bersatu membentuk Perserikatan Perempuan Indonesia. Setahun kemudian, berganti nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia, dan menyatakan bahwa gerakan perempuan merupakan bagian dari pergerakan nasional Indonesia. Pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1953 yang menyatakan bahwa tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Pada tanggal 31 Desember 1959 dikeluarkan Pembaharuan Keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959 yang menetapkan bahwa Hari Ibu 22 Desember sebagai hari nasional bukan hari libur.

 

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Hari Ibu di Indonesia yang diperingati setiap tanggal 22 Desember tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa inggris sebagai mother’s day, melainkan women’s day atau Día de la Mujer Indonesia (terjemahannya di dalam bahasa spanyol), sebab Hari Ibu 22 Desember merujuk pada Hari Perempuan Indonesia.

 

==========================================================================================================================

​

Revolusi Meksiko.jpg

Mengenang Revolusi Meksiko

oleh Evi Siregar

 

Berbicara tentang Revolusi Meksiko, adalah yang merujuk pada gerakan anti tuan tanah dan anti imperialis yang dimulai pada tahun 1910. Gerakan perlawanan rakyat Meksiko ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Meksiko. Pertanyaan pertama yang muncul di benak kita adalah apa yang menyebabkan Revolusi Meksiko terjadi? Selama pemerintahan Porfirio Diaz (1884-1911), 40 persen wilayah Meksiko dikuasai oleh 840 tuan tanah. Begitu sedikitnya pemilih tanah, sehingga satu orang bahkan sampai menguasai daerah yang luasnya lebih besar dari sebuah  negara di Eropa. Contohnya, Jenderal Terrazas; ia memiliki tanah seluas 24 juta hektar di utara Meksiko, yang setara luasnya dengan gabungan negara Belanda, Belgia, Denmark, Hongaria, dan Swiss. Permasalahannya bukan hanya di situ. Para pemilik tanah dan para pengelolanya tidak peduli pada hasil pertanian, dan bahkan mereka bertindak sesuka hati terhadap para petani dan keluarganya. Pemilik tanah yang luas lainnya adalah Gereja Katolik Meksiko, yang pada saat itu dipimpin oleh orang yang konservatif dan represif. Itu sebabnya, selain merupakan pemberontakan terhadap para tuan tanah, Revolusi Meksiko juga merupakan simbol perlawanan terhadap gereja.

 

Sementara itu, pemerintahan rejim Porfirio Díaz hanya tertarik pada investasi asing, terutama Amerika Serikat dan Eropa (khususnya Inggris) dan mengabaikan perekonomian rakyat. Pada masa itu orang-orang asing menjadi pemilik perusahaan kereta api dan menguasai bisnis pertambangan, hutan, laut dan perdagangan. Yang menjadi masalah pula adalah tidak adanya UU yang melindungi para buruh dan petani. Para pemilik perusahaan dan tuan tanah adalah penguasa total. Jika ada rakyat yang mencoba melawan, atau bahkan hanya meminta kenaikan upah, akan mendapat hukuman berat dari pemilik perusahaan dan tuan tanah. Di samping itu, rakyat kebanyakan tidak pernah mendapat jabatan yang tinggi, sebab semua jabatan yang tinggi dipegang oleh orang-orang asing. Mereka, rakyat kebanyakan, hanya mendapat upah kecil, sementara orang asing menikmati kekayaan yang digali di tanah ini. Pada masa itu harga-harga sangat tinggi, sehingga rakyat kebanyakan harus berhutang untuk dapat bertahan hidup. Keadaan tersebut tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan Spanyol, padahal Meksiko sudah merdeka. Pada masa itu tatanan sosial tersusun berdasarkan kekuasaan dan ekonomi, yaitu: tuan tanah besar, tuan tanah militer, pemimpin gereja, pengusaha asing dan pengusaha lokal, kelompok boujuis kecil, dan terakhir adalah buruh dan petani.     

 

Selama masa pemerintahan rejim Porfirio Díaz, yang berkuasa dengan tirani lebih dari 30 tahun, kekuasaan legislatif dan yudikatif berada di tangan eksekutif. Seluruh kekuasaan negara berada penuh di tangan presiden, dan pemilihan presiden selalu dimenangkan oleh Porfirio Díaz. Beberapa partai oposisi mencoba melakukan gerakan untuk melawan kekuasan Porfirio Díaz, tetapi selalu gagal. Pada tahun 1908, Porfirio Díaz menyatakan diri untuk mundur dari jabatan karena sudah lelah, tetapi partai-partai politik yang mendukungnya kembali mengusulkannya untuk menjadi presiden. Melihat keadaan tersebut, akhirnya Fransisco I Madero muncul. Ia seorang tuah tanah dari Coahuila yang memiliki ide progresif untuk pembangunan di daerahnya, seperti mendukung para buruh, mendirikan sekolah gratis, sekolah dan rumah sakit. Ia mengajak rakyat untuk bersama-sama memerangi kediktatoran Porfirio Díaz dan mengajukan diri sebagai calon presiden untuk bersaing dengan Porfirio Díaz. Namun, oleh karena Porfirio Díaz masih menguasai peta politik Meksiko, ia menangkap Fransisco I Madero dengan tuduhan akan melakukan pemberontakan. Dengan cara ini Porfirio Díaz berhasil menjadi presiden untuk ketujuh kalinya pada tahun 1910.

​

Setelah Fransisco I Madero keluar dari penjara, ia meneruskan perjuangannya melawan rejim militer Porfirio Días. Ia mengajak seluruh rakyat untuk menolak pemilu yang dimenangkan Porfirio Díaz (yang dikenal dengan Rencana San Luis Potosi) dan melakukan perlawanan secara nasional. Pada tanggal 20 November 1910 orang-orang menyatakan dukungan terhadap ajakan Fransisco I Madero. Di antara para pendukungnya, ada Fransisco “Pancho” Villa dan Emiliano Zapata. Sementara itu, Porfirio Díaz mempersiapkan perlawanan. Namun, ternyata kekuatan Porfirio Díaz makin lama makin melemah, sehingga pada tanggal 25 Mei 1911 ditandatangani Perjanjian Madero di kota Juárez. Kemudian Porfirio Díaz diam-diam pergi ke Veracruz dan dari sana pergi ke Eropa. Ia meninggal di Paris pada tahun 1915.

   

Sejarah Meksiko berubah dengan kemenangan Fransisco I Madero. Konstitusi 1987 kembali berlaku dan reformasi politik dikumandangkan: tak ada lagi pemilihan. Namun reformasi politik tidak menyelesaikan permasalahan ekonomi. Itu sebabnya, Fransisco “Pancho” Villa mengusulkan Rencana Ayala yang berisi pendistribusian tanah kepada rakyat. Pada saat itu muncul Victoriano Huerta yang ingin berkuasa. Fransisco I Madero dan Fransisco “Pancho” Villa dibunuh, dan Victoriano Huerta menjadi presiden. Setelah Frasisco I Madero dibunuh, terjadi perang perebutan kekuasaan politik. Belum lama Victoriano Huerta menjabat sebagai presiden, Venustiano Carranza, gubernur Coahuila, berhasil menggulingkan kekuasaannya dan Victoriano Huerta diasingkan (ia pergi ke Jamaica, Inggris, Spanyol, lalu tiba di Amerika Serikat dan ia meninggal di El Paso pada tahun 1916).

​

Pergulatan kekuasaan politik masih terus berlanjut, terutama antar pengikut Madero dan pengikut Carranza. Sementara itu, muncul masalah-masalah besar lainnya di Meksiko: marinir Amerika Serikat menyerbu Pelabuhan Veracruz pada tahun 1914, terjadi mogok kerja yang besar oleh para buruh di Kota Meksiko pada tahun 1916, pemberlakuan Konstitusi Queretaro (1917) untuk merealisasikan cita-cita revolusi, di antaranya: 8 jam kerja sehari, upah mínimum, kompensasi kecelakaan kerja, reformasi agraria, nasionalisasi minyak.

​

Ada beberapa pendapat mengenai periode Revolusi Meksiko; sebagian mengatakan terjadi antara tahun 1910-1917 dan berakhir ketika dibuatnya Konstitusi 1917, sebagian lagi berpendapat bahwa Revolusi Meksiko berakhir pada tahun 1940. Konstitusi 1917 memang merupakan peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Meksiko. Pada bulan September 1916 Carranza mengajukan ide untuk membuat sebuah konstitusi baru. Ide tersebut disetujui. Maka dipersiapkanlah teks konstitusi tersebut dan pada tanggal 5 Februari 1917 Konstitusi 1917 diberlakukan. Pemberlakuan konstitusi baru ini dianggap merupakan akhir Revolusi Meksiko, karena ada banyak perubahan kebijakan pemerintah. Namun demikian, friksi politik masih terus terjadi. Yang perlu dicatat adalah terbunuhnya para pemimpin revolusi itu sendiri, di antaranya Zapata (1919), Carranza (1920), Villa (1923) dan Obregón (1928). Perlu juga digarisbawahi bahwa selama Revolusi Meksiko, peran kaum perempuan (yang dikenal dengan nama Adelita) tak kalah pentingnya dengan kaum lelaki. Berdasarkan catatan sejarah, lebih dari satu juta orang tewas selama Revolusi Mesiko. Namun demikian, perjuangan mereka tidak sia-sia, karena setelah itu hukum agraria, hak-hak buruh, pendidikan dan kesehatan, kebebasan pers dan hak-hak politik dijamin oleh Negara.

​

Foto kredit : Evi Siregar

 

==========================================================================================================================

​

OKTOBER: BULAN BAHASA DAN SASTRA

oleh Evi Siregar

 

Terminologi Bahasa Indonesia (ditulis dengan huruf besar) tidaklah sama dengan terminologi bahasa jawa, bahasa sunda, bahasa madura (ditulis dengan huruf kecil). Mengapa? Karena tidak merujuk pada konteks yang sama. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang sengaja diciptakan, tidak seperti bahasa jawa, bahasa sunda, bahasa madura, dan lain sebagainya. Secara de facto Bahasa Indonesia lahir pada tahun 1928 ketika para pemuda menyuarakan ide kemerdekaan Indonesia. Mengapa harus dicetuskan Bahasa Indonesia? Untuk membentuk sebuah bangsa baru diperlukan bahasa nasional yang dapat menyatukan seluruh penduduk, seluruh masyarakat, dan semua budaya mulai dari ujung barat sampai ujung timur Nusantara. Secara de jure Bahasa Indonesia lahir pada tahun 1945 bersamaan dengan lahirnya negara Indonesia.

 

Namun demikian, Bahasa Indonesia bukanlah sebuah bahasa baru, melainkan bahasa yang "diciptakan" dari bahasa melayu. Pertanyannya adalah mengapa dari bahasa melayu, padahal pada saat itu bahasa melayu bukanlah bahasa yang mendominasi seluruh wilayah Nusantara. Seperti yang disebutkan Sneddon bahwa hanya 5 persen dari penduduk di Nusantara yang  merupakan penutur asli bahasa melayu pada waktu itu. Memang benar bahwa varian dari bahasa melayu telah menjadi lingua franca di sebagian besar wilayah Nusantara. Dalam beberapa dokumen bangsa Portugis disebutkan bahwa ketika mereka tiba di Nusantara pada abad XVI, mereka menyebutkan bahwa bahasa melayu penting dan dijadikan sebagai bahasa untuk berkomunikasi dalam perdagangan. Di sini perlu digarisbawahi bahwa ini tidak menunjukkan bahwa fungsi bahasa melayu sebagai lingua franca muncul akibat kedatangan bangsa Eropa, karena kemungkinan besar sudah digunakan ketika kerajaan hindu-buda menguasai Nusantara, atau bahkan jauh sebelumnya, sejak bangsa India datang. Namun, Bahasa Indonesia tidak diambil dari varian itu. Ada juga varian lain (dari bahasa melayu) yang juga berkembang secara progresif, khususnya dalam kesusastraan, yang fungsinya sangat mirip dengan lingua franca.

 

Kalau berbicara tentang kesusatraan, kita harus berbicara jauh lagi ke belakang. Kesustraan di Nusantara mulai berkembang di pulau Jawa, ketika kekuasaan kerajaan-kerajaan hindu-buda mencapai puncaknya pada abad VII-IX. Pada awalnya digunakan bahasa sansekerta yang ditulis dalam huruf pallawa. Namun, perlahan-lahan bahasa setempat juga berkembang. Pada masa akhir kekuasaan kerajaan-kerajaan hindu-buda, yang ditandai dengan jatuhnya kerajaan Majapahit setelah Hayam Wuruk wafat, agama Islam datang ke Indonesia. Menurut Ricklefs, Islam sudah datang pada abad XI, tetapi keberadaannya baru dirasakan sampai abad XIII. Meskipun pulau Jawa pada masa itu sudah sedemikian maju, Islam tidak tiba di Jawa, melainkan di Sumatra. Tentu saja Sumatra pun merupakan wilayah yang penting (karena kerajaan Sriwijaya pada abad VII). Kedatangan Islam mengubah sejarah Nusantara. Setelah itu lahirlah kesultanan-kesultan di Sumatra, yang kemudian menyebar ke Jawa, bahkan sampai ke Kepulauan Maluku. Sansekerta dan huruf pallawa pun tak lagi digunakan. Mulaikan dikembangkan jawi (bahasa melayu yang ditulis dalam huruf arab). Inilah awal bahasa melayu mendominasi Nusantara.

 

Selama masa penjajahan Balanda, bahasa melayu semakin berkembang. Pada awal abad XX, selama lebih dari empat puluh tahun (1901-1947) pemerintah Belanda menjalankan program romanisasi jawi. Pada saat itu diusulkan sistem ortografi Ophuijsen, yang berasal dari nama seorang ahli bahasa Charles Adriaan van Ophuijsen. Ia dilahirkan di Solok, sebuah kota kecil di Sumatera Barat, pada tahun 1856. Ia adalah seorang inspektur sekolah di Sumatera Barat dan kemudian menjadi seorang ahli bahasa melayu di Universitas Leiden. Pada tahun 1901 ia menerbitkan buku Kitab Logat Malajoe: Woordenlijst voor Spelling der Maleische Taal. Kemudian ia menerbitkan buku keduanya, Maleische Spraakkunst, pada tahun 1910 (yang kemudian diterjemahkan T.W. Kamil ke dalam Bahasa Indonesia: Tata Bahasa Melayu).

 

Kembali ke persoalan di atas bahwa Bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu, pertanyaannya adalah dari bahasa melayu versi mana? Seperti yang dijelaskan di atas, ada varian dari bahasa melayu yang dijadikan sebagai lingua franca (untuk bahasa lisan), ada juga varian dari bahasa melayu yang dikembangkan di dalam kesusatraannya (bahasa tulis). Mengikuti pendapat ahli linguistik Harimurti Kridalaksana, dasar pembentukan Bahasa Indonesia diambil dari bahasa melayu tulis. Namun, setelah itu memang terlihat adanya sebuah “kesengajaan” untuk “menciptakan” Bahasa Indonesia. Lihat saja: Bahasa Indonesia yang lahir pada tahun 1928 sudah tidak sama lagi dengan Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang. Jika kita lihat kembali peristiwa 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesialah yang merupakan satu-satunya alat pemersatu bangsa Indonesia. Itu sebabnya, bulan Oktober merupakan bulan bahasa dan sastra.

​

==========================================================================================================================

​

Teotihuacan.jpg

Teotihuacan dan Misteri Tempat Kelahiran Tuhan

oleh Aris Heru Utomo

 

Di manakah tempat Tuhan atau Dewa dilahirkan?” Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu saja bisa beragam dan panjang lebar, tergantung latar belakang siapa yang menjawabnya. Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada masyarakat Aztec yang pernah mendiami lembah Meksiko, jawabannya adalah bahwa Tuhan atau Dewa dilahirkan di Teotihuacan.

​

Teotihuacan adalah sebuah kota Mesoamerika kuno yang berlokasi di anak lembah Meksiko, sekitar 40 km timur laut Mexico City. Nama Teotihucan bukan berasal dari jejak-jejak reruntuhan bangunan dan piramid di kota tersebut, melainkan diberikan oleh bangsa Aztec yang pernah menguasai kota Mesoamerika kuno tersebut. Bangsa Aztec yang menguasai Teotihuacan, meski mereka tidak tinggal di kota tersebut, memberikan nama situs tersebut sebagai “Tempat para Dewa”, karena mereka menganggap bahwa dari tempat tersebutlah dunia diciptakan. Pada tahun 1987 UNESCO menetapkan tempat ini sebagai Situs Warisan Dunia dan merupakan salah satu situs arkeologi penting di Meksiko, yang menyebabkan tempat ini dikunjungi banyak wisatawan yang tertarik untuk belajar sejarah ataupun sekedar berwisata. Sampai tahun 2017 diperkirakan ada sekitar 4,2 juta wisatawan yang telah berkunjung ke situs ini.

 

Tertarik dengan situs Teotuhuacan dan ingin mengetahui sejarah peradaban dunia, khususnya Amerika Latin, serta ingin melihat warisan sejarah Mesoamerika kuno, seperti bangunan piramida Mesoamerika yang didirikan pada masa pre-Kolombia Amerika, pada hari Minggu 9 September 2018 saya berkunjung ke tempat tersebut. Tiba di lokasi sekitar jam 10 pagi, suasana di situs Teotihuacan belum terlalu ramai. Setelah memarkir kendaraan di pintu utara, saya bersama staf KBRI Mexico City terlebih dahulu mengunjungi museum yang terletak di area bagian depan. Di museum yang tidak terlalu besar ini kita bisa melihat berbagai artefak dan pernak-pernik peninggalan masyarakat Teotihuacan dan informasi mengenai situs Teotihuacan yang sangat membantu kita untuk menguak misteri yang ada di sekitar situs. Sejauh ini memang masih banyak misteri mengenai keberadaan Teotihuacan di masa lalu yang belum terkuak, seperti siapa yang membangun dan mendiami kawasan tersebut, bagaimana kedudukan Teotihuacan sebagai sebuah kota dalam struktur pemerintahan pada saat itu, dan lain sebagainya. Misteri tetap menyelimuti karena tidak banyak bukti tertulis dan informasi yang dapat ditelusuri.

​

Berdasarkan penelitian arkeologis, para peneliti hanya dapat memperkirakan bahwa Teotihuacan merupakan kota multietnis, karena kemungkinan pernah didiami etnik yang berbeda-beda seperti Nahua, Otomi, dan Totonac. Mereka ini adalah Teotihuacano (orang Teotihuacan) yang pengaruh dan keberadaan di Mesoamerika juga menjangkau kawasan Veracruz dan tanah Maya. Teotihuacan diperkirakan didirikan di kantung lembah Meksiko pada sekitar tahun 100 Sebelum Masehi dan terus berlanjut hingga tahun 250 Masehi. Masyarakat yang tinggal di kota ini mendirikan bangunan tempat tinggal, jalan raya (antara lain Jalan Raya Kematian) dan tempat peribadatan berbentuk piramid besar seperti Piramid Matahari dan Bulan. Piramid Matahari merupakan peninggalan di situs Teotihuacan yang terkenal, dibangun pada abad ke-2 Masehi. Dahulu sebelum ditemukannya beberapa piramida baru di Mesoamerika dan pemugaran Piramid Merah di Mesir pada abad ke-20 Masehi, Piramid Matahari merupakan piramid terbesar ke-3 di dunia. Piramid ini mendominasi landskap kota Teotihuacan dan merupakan bangunan terbesar di komplek Teotihuacan. Bangunan suci yang memiliki tinggi 220 kaki dan luas 650 kaki persegi ini pada masanya memiliki sebuah kuil yang terbuat dari kayu di puncak piramid, yang memberikan pemandangan yang spektakuler bagi para pendeta Teotihuacan untuk melihat kota di bawahnya. Piramid terbesar lainnya yaitu piramid Bulan terletak di ujung utara dari Jalan Raya Kematian, yang merupakan pusat utama dari kota Teotihuacan. Piramid ini menghadap ke selatan yang dibangun sebagai bangunan utama di komplek piramid bulan. Platform berjenjang lima melekat pada bagian depan piramid bulan, dan di situ disebutkan bahwa pada masa itu piramid tersebut memiliki struktur interior di dalamnya, dan piramid ini adalah salah satu bangunan utama di Teotihuacan yang paling mudah dipahami. Selain piramid yang digunakan acara seremonial besar, di Teotihuacan dibangun pula istana, kuil-kuil, khususnya dekat dengan ujung utara kota yang dikelilingi plaza di depan Piramid Bulan, istana Quatzelcoatl, istana kupu-kupu, kuil feathered conches, dan istana jaguar.

 

Pada puncak kejayaannya Teotihuacan mungkin merupakan kota terbesar di Meksiko dan kota terbesar ke-6 di dunia pada tahun 650 Masehi. Pada rentang waktu 500-600 Masehi Teotihuacan diperkirakan dihuni sekitar 200 000 jiwa. Kota ini dirancang dengan perencanaan yang baik dengan luas sekitar 8 mil persegi, jauh lebih besar dan lebih maju daripada kota-kota di Eropa pada masa itu. Peradaban ini sezaman dengan peradaban romawi kuno dan bertahan lebih lama, sekitar 500 tahun.

 

Kota ini mengawali kehancuran pada sekitar tahun 650 Masehi akibat ketegangan internal dan penaklukan bangsa lain pada sekitar tahun 700an Masehi. Setelah itu populasinya terus menyusut hingga seperempat dari total semula, sehingga kota yang pernah jaya tersebut tak lebih dari serangkaian dusun di area seluas 1 km persegi.

 

Walau telah runtuh, bangsa Aztec yang menguasai Teotihuacan selama delapan abad, selanjutnya masih memuja tempat tersebut sebagai tempat yang sakral, meski tidak mengetahui siapa yang membuatnya atau bagaimana pernah ada puluhan hingga ratusan ribu orang pernah tinggal disana. Keruntuhan Teotihuacan sendiri sepertinya menjadi kasus klasik bagi semua kota dan peradaban bangsa indian kuno di Mesoamerika. Beberapa peneliti meyakini bahwa kasus tersebut terjadi karena merosotnya persediaan pangan akibat kekeringan dan berkurangnya pasokan air ke daerah tersebut.

​

Foto kredit: Aris Heru Utomo

​

=========================================================================================================================

​

Pembelajaran-Pengajaran Bahasa: Sebuah Catatan

oleh Evi Siregar

 

Proses belajar-mengajar di kelas mencakup tiga komponen, yaitu pengajar-materi-siswa. Seorang pengajar memiliki beberapa tugas, karena dia harus menjadi tutor, pendidik, dan guru; akan tetapi, pada saat yang sama dia juga harus bertindak sebagai peneliti. Oleh karena itu, seorang pengajar, mau atau tidak, harus memiliki pengetahuan yang mencakup disiplin-disiplin tersebut, ketika ia terlibat dalam proses belajar-mengajar. Tentu saja, seorang pengajar harus menguasai materi yang diberikannya. Dalam banyak diskusi, ketika kita berbicara tentang proses belajar-mengajar, kritik-kritik biasanya berfokus pada pengajar dan bahan ajar. Banyak yang melupakan perhatian terhadap siswa.

 

Untungnya paradigma telah berubah dan sekarang dianggap bahwa siswa memiliki bobot yang penting dalam proses belajar-mengajar. Sebagai contoh, dalam diskusi tentang kualitas pendidikan, yang sebenarnya bukan merupakan tema baru, disebutkan bahwa salah satu kriteria untuk mencapai kualitas pendidikan adalah untuk memenuhi kebutuhan setiap siswa di dalam kelas. Hal ini terlihat dalam perubahan definisi kurikulum dari waktu ke waktu. Pada tahun 60an konsep kurikulum mengacu pada serangkaian perencanaan sekolah untuk mencapai hasil tertentu dalam proses pembelajaran (Inlow 1966; Neagley dan Evans, 1967; Johnson, 1967). Pada tahun 80an muncul gagasan bahwa kurikulum merupakan hasil kerja guru terhadap kegiatan anak-anak di sekolah (Stenhouse, 1987) dan istilah belajar-mengajar sebagai satu komponen semakin digunakan. Sebagai contoh, Joyce dan Weil (1985) mengatakan bahwa proses belajar dan mengajar di kelas adalah proses yang terjadi secara bersama-sama; jika kita berbicara tentang proses mengajar, pada waktu yang sama kita berbicara tentang proses belajar; artinya, kedua proses tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, pemisahan antara konteks mengajar dan belajar telah berhenti digunakan, dan telah diputuskan untuk menggunakan istilah belajar-mengajar sebagai satu kesatuan. Tidak hanya itu, sekarang bahkan proses belajar-mengajar di kelas mengacu pada komunikasi segitiga antara pengajar-materi-siswa dalam satu hubungan timbal balik.

 

Mengenai masalah belajar-mengajar dan akuisisi L2 (bahasa kedua, yang dapat diartikan sebagai bahasa asing), Macaro dan Cohen (2010) membuat diskusi yang cukup luas dan kritis tentang apa yang disebut sebagai strategi yang berfokus pada pembelajar bahasa. Perdebatan berfokus pada strategi siswa yang digunakan dalam proses akuisisi L2 dan produksi L2 di kelas. Sebenarnya, penelitian strategi yangberfokus pada pembelajar bahasa telah muncul sejak awal tahun tujuh puluhan, yang disosialisasikan peneliti-peneliti Joan Rubin, David Stern dan Neil Nailman, dan merupakan bagian dari perubahan paradigma mendasar dalam pembelajaran bahasa dari paruh kedua abad kedua puluh. Namun, gagasan strategi ini belum begitu jelas, sampai akhirnya Mayer (1988) mengusulkan bahwa istilah strategi yang berfokus pada pembelajar bahasa mengacu pada "perilaku siswa yang mempengaruhi mereka dalam proses mendapatkan informasi". Mayer (1988) menjelaskan bahwa strategi ini terkait dengan empat komponen, yaitu “instruksi, proses pembelajaran, hasil pembelajaran dan kinerja” (h.14). Sementara itu, Dansereau (1985) menekankan bahwa tujuan dari strategi ini secara umum adalah untuk memaksimalkan potensi dalam proses pembelajaran (dari pihak siswa atau pembelajar), karena strategi pembelajaran yang efektif mengacu pada serangkaian proses dan langkah yang dapat memfasilitasi perolehan, penyimpanan dan atau penggunaan informasi. Terlepas dari kenyataan bahwa ada banyak kritik terhadap strategi tersebut dan bahwa masih perlu dilakukan banyak penelitian mengenai pembelajaran dan pengajaran L2, pendekatan ini cukup dipertimbangkan secara serius. Alasan-alasannya adalah: pertama, karena strategi tersebut dapat didefinisikan sebagai aktivitas-aktifitas yang dapat digunakan sebagai respons terhadap masalah pembelajaran dan pengajaran bahasa; kedua, karena strategi tersebut terbukti dapat meningkatkan keberhasilan belajar, dapat diajarkan secara eksplisit, dapat diakses siswa/pembelajar, dan didokumentasikan para peneliti (Macaro dan Cohen, 2010, h. 27-28).

 

Dalam proses akuisisi L1 (bahasa ibu atau bahasa pertama), Chomsky (1965) menyebutkan bahwa secara alami manusia memiliki kapasitas yang sama untuk memperoleh pengetahuan bahasa. Artinya, seorang anak yang lahir di Cina, secara alami mampu memperoleh bahasa Cina. Dan jika anak itu lahir di Arab Saudi atau di Rusia, secara alami dia bisa memperoleh bahasa Arab atau Rusia. Chomsky (1972), melalui teorinya tentang kompetensi linguistik, menjelaskan bahwa dalam proses produksi dan persepsi bahasa di dalam otak seorang pembicara, yang pertama terjadi adalah “berkonsultasi” kepada struktur kalimat (sintaks), sebelum memilih kata-kata (kosakata) yang akan digunakan untuk mengekspresikan ide-ide. Meskipun teori tatabahasa generatif Chomsky banyak dikritik, teori ini telah menjadi salah satu teori terpenting sepanjang sejarah, terutama untuk menjelaskan proses akuisisi konseptual bahasa.


Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana dalam proses akuisisi L2? Apakah sama dengan L1? VanPatten dan Williams (2015) berpikir bahwa "fitur luar biasa dari akuisisi L2 yang membedakan pembelajaran L1 adalah bahwa siswa/pembelajar sudah mengetahui L1, yang harus diatasi dalam proses akuisisi L2" (h. 19). Kedua peneliti tersebut berpendapat bahwa, dari sudut pandang behaviorisme dan linguistik struktural, akuisisi L2 dilihat sebagai akuisisi perilaku baru, sebuah proses yang dihalangi L1. Mengapa L1 menghalangi prosesnya? Mereka menjelaskan bahwa agar berhasil mendapatkan L2, L1 harus diatasi, tetapi hasilnya tidak segera pada saat itu juga. Kegagalan sering terjadi, dan itu terjadi di dalam proses transfer, karena ada jarak antara L2 dan L1. Jika L2 dan L1 serupa, jaraknya pendek atau kecil; sebaliknya, jika L2 dan L1 berbeda, jaraknya panjang atau besar. Jarak ini menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dalam proses transfer.

 

Tentu saja, perolehan bahasa, seperti pengetahuan lainnya, tidak hanya didapat melalui proses empiris sederhana, tetapi juga melalui proses kognitif; atau dengan kata lain, pemerolehan bahasa harus melalui proses pembelajaran. Oleh karena itu, pengetahuan bahasa merupakan konstruksi empiris dan kognitif. Sebagai sebuah konstruksi empiris dan kognitif, hingga waktu tertentu itu akan menjadi model mental. Untuk memperjelas gambaran mengenai proses ini, kita dapat mengambil kasus lain yang berbeda. Selera tiap-tiap manusia, misalnya, juga dibangun melalui proses empiris dan kognitif. Ketika seseorang mulai mengalami satu rasa baru, referensi untuk "memenuhi syarat enak dan tidaknya" rasa baru itu, didasarkan pada konstruksi rasa yang telah dimilikinya sebagai model mental. Itu sebabnya, kebanyakan orang berpikir bahwa makanan penutup seharusnya manis, tidak pahit, dan makanan yang baik tidak bisa berwarna hitam, karena itulah yang dikatakan model mental. Meskipun prosedurnya tidak persis sama, struktur bahasa pertama juga melakukan hal yang sama dengan rasa, karena menjadi referensi ketika seseorang belajar bahasa yang berbeda. Asosiasi ini dapat menjelaskan bahwa kesalahan yang sering terjadi dalam produksi L2 disebabkan “gangguan” struktur bahasa pertama; karena pikiran bekerja secara otomatis, berdasarkan struktur itu, karena itu merupakan model mental. Setidaknya, ini terjadi dalam kasus pembelajaran Bahasa Indonesia bagi penutur bahasa Spanyol dan pembelajaran bahasa spanyol bagi penutur Bahasa Indonesia. Namun demikian, penelitian mengenai topik ini harus terus digiatkan, terutama pada kasus-kasus dua bahasa yang memiliki perbedaan yang besar.

​

==========================================================================================================================

​

PULANG KAMPUNG

oleh Evi Siregar

 

Istilah pulang kampung, atau yang lebih akrab lagi mudik, acapkali dihubungkan dengan lebaran. Pada akhir bulan puasa, masyarakat (khususnya yang berada di ibukota negara dan propinsi) bersiap-siap mengunjungi keluarga untuk merayakan lebaran bersama mereka. Mereka menggunakan kesempatan liburan lebaran ini terutama untuk mengunjungi orangtua. Maka tak heran, karcis kereta api, bus, dan bahkan tiket pesawat terbang pun nyaris habis mulai dari pertengahan bulan puasa pada setiap tahunnya.

 

Sejak kapan istilah tersebut muncul? Apakah benar hanya merujuk pada kegiatan pulang ke kampung pada saat lebaran? Menurut beberapa sumber tidak resmi, kegiatan mudik atau pulang kampung sudah ada sejak beberapa abad yang lalu. Istilah tersebut merujuk pada kegiatan pulang ke kampung untuk berziarah ke makam orangtua dan para leluhur, untuk memohon keselamatan dan berkah mereka, agar mereka hidup baik di perantauan. Sayangnya, tak ada keterangan lengkap mengenai tradisi ini.

 

Pada masa sekarang (setelah Indonesia merdeka), istilah pulang kampung atau mudik berkembang pesat pada tahun tujuh-puluhan. Istilah yang berkembang pada saat itu memang mengacu pada kegiatan pulang ke kampung menjelang lebaran, dan pemakaiannya didominasi untuk para pemudik di Jakarta. Mengapa? Pertama, karena pada saat itu Jakarta merupakan satu-satunya kota yang berkembang dengan pesat. Di kota ini dikonsentrasikan pembangunan negara, mulai dari intrasftruktur, pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan lain-lain, sehingga hal ini menjadi daya tarik masyarakat dari seluruh pelosok negeri untuk tinggal di kota Jakarta, baik kemudian tinggal secara permanen di sana atau hanya untuk sementara (hanya sebagai tempat untuk mencari nafkah atau ilmu).

 

Menurut sebuah sumber, 80% penduduk kota Jakarta adalah masyarakat pendatang. Orangtua mereka tetap tinggal di desa. Seperti yang kita ketahui bersama, lebaran merupakan satu-satunya waktu berlibur yang “cukup” panjang, terutama bagi anak-anak sekolah. Ini merupakan satu-satunya kesempatan untuk bisa pulang ke kampung halaman, untuk mengunjungi orangtua, keluarga, sanak saudara, dan handai tolan. Apalagi, mereka yang tinggal di Jakarta sudah mengantongi sejumlah uang hasil menabung selama satu tahun. Di sisi lain, dalam tradisi masyarakat Indonesia yang sudah terbentuk sejak beberapa abad, lebaran merupakan kesempatan untuk saling bermaaf-maafan, terutama kepada orangtua dan memohon doa dan restu mereka. Jadi, lengkaplah sudah alasan mengapa orang-orang pulang kampung pada waktu lebaran. Dan, banyaknya jumlah pemudik dari tahun ke tahun pun bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di kota dan penduduk yang datang ke kota untuk berbagai tujuan.

 

Saat ini, setelah hampir dua dekade memasuki abad ke-21, mungkin cukup banyak orang berpikir untuk tidak pulang kampung pada waktu lebaran karena berbagai alasan, seperti sulitnya mendapatkan karcis kereta api atau mahalnya tiket pesawat terbang dan makin repotnya mudik serta macet di jalan. Bayangkan saja, menurut data Kemenhub pada tahun 2017 tercatat hampir 19 juta pemudik di seluruh Indonesia. Apalagi, sistem komunikasi saat ini sudah jauh lebih baik, sehingga pertemuan (tatap muka) dengan orangtua atau saudara dapat dilakukan lewat whatapps video misalnya. Makin tingginya pengeluaran biaya pulang kampung, belum lagi biaya yang harus dikeluarkan selama bulan puasa dan untuk keperluan perayaan lebaran, sementara biaya kehidupan lainnya pun harus dipenuhi, menambah orang mulai berpikir untuk tidak pulang kampung, atau paling tidak, tidak dilakukan pada setiap tahun.

 

Kalau kita renungkan semua itu, dan jika kita menimbang-nimbang untuk memutuskan mudik atau tidak berdasarkan perhitungan angka, memang benar mungkin tradisi mudik harus dipikirkan kembali manfaatnya. Biaya keluarga (terutama sekolah anak-anak) harus menjadi prioritas. Namun demikian, hendaklah kita juga berpikir dan menilai arti mudik dari berbagai sudut.

 

Kita manusia adalah makhluk sosial dan menjalin hubungan dengan orang lain (orangtua, saudara, sanak keluarga dan handai tolan) merupakan faktor penting dan tetap harus dipertahankan. Jangan sampai masyarakat Indonesia menjadi sebuah masyarakat yang individualis. Alangkah menyedihkan jika itu terjadi pada masyarakat kita. Coba kita tengok masyarakat di negara-negara yang individualismenya sangat tinggi. Sutradara Michael Haneke pernah mengeritik keras individualisme yang terjadi dalam masyarakat kini lewat filmnya Amour (2012), yang dibintangi Jean-Louis Trintignant, Emanuelle Riva, dan Isabelle Huppert.

 

Di Indonesia tradisi mudik sudah menjadi sebuah identitas budayanya. Dan, ini merupakan tradisi yang sangat baik untuk menjaga hubungan kekerabatan (terutama dengan orangtua dan saudara). Manfaat mudik bukan itu saja. Kalau kita analisis secara menyeluruh dari sisi ekonomi, manfaatnya sangat luar biasa. Menurut data yang dikeluarkan Bank Indonesia, distribusi dana yang datang dari kota ke desa pada tahun 2016 tercatat mencapai 160 triliun rupiah. Ini adalah angka yang besar sekali. Meski hanya bersifat short-term, angka ini mampu mendongkrak perekomian desa dan dapat menjadi faktor untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi pedesaan. Jadi, di balik segala permasalahan yang muncul, mudik merupakan waktu yang sangat menguntungkan untuk perekonomian, bahkan bisa jadi dapat menjelma menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antara kota dan desa. Mudik dapat pula kita lihat sebagai sarana untuk mendistribusikan kekayaan.

 

Lalu bagaimana dengan diaspora Indonesia? Tentu saja kita juga harus pulang kampung. Bukan hanya berguna agar silaturahmi kekeluargaan dan pertemanan terus akan langgeng, anak cucu sebagai generasi kita tidak kehilangan identitas budaya Indonesianya. Apalagi, jika kemudian ini dapat memicu naiknya devisa negara. Menurut pernyataan yang pernah dilontarkan pada pertemuan Diaspora Indonesia Pertama yang diselenggarakan di Los Angeles pada Juli 2012, jumlah diaspora Indonesia diperkirakan mencapai 6 juta. Nah, kalau 10% saja yang selalu pulang kampung setiap tahunnya dan setiap orang membelanjakan uangnya di Indonesia sedikitnya 1000 USD setiap kali pulang, paling tidak ini sudah dapat meningkatkan pendapatan sektor pariwisata. Ayo, kita gencarkan budaya pulang kampung ini!

 

Foto: Jakarta

Foto kredit: Evi Siregar

​

==========================================================================================================================

​

Peran seorang ayah di mata ayah Indonesia

oleh Evi Siregar

​

Bagaimana peran seorang ayah di mata para ayah Indonesia? Berikut ini hasil dari tiga wawancara yang dibuat redaksi, dalam rangka hari ayah di Meksiko yang jatuh pada hari Minggu minggu ketiga bulan Juni setiap tahunnya.

 

Di mata para ayah Indonesia, apa peran ayah di dalam keluarga?

 

Ayah merupakan kepala keluarga. Dia contoh bagi anaknya, pengayom keluarga dan unsur yang meletakkan nilai-nilai dasar dan pendidikan kepada anak. Sikap ayah di dalam keluarga akan menjadi cermin seorang anak. Peran ayah sebagai contoh dan panutan bagi anak-anaknya ini sangat krusial. 

 

Sebenarnya peran seorang ayah itu luas sekali. Namun, salah satu yang perlu dicatat adalah bahwa figur seorang ayah itu penting dalam mewariskan nilai-nilai kebajikan kepada anak. Dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang ayah paling tidak harus dapat menunjukkan apa yang positif atau yang baik kepada keluarganya dan anaknya, seperti bermoral baik, jujur, rendah hati, dan disiplin; paling tidak yang berangkat dari nilai-nilai keluarga dan yang ada di dalam masyarakat. Jadi, bukan hanya mengajari anak apa yang baik untuk diri untuk dirinya, tetapi juga baik apa yang baik untuk lingkungannya, termasuk masyarakat dan negara. Di sinilah pentingnya peran seorang ayah; dan bersama dengan peran ibu, lengkaplah fungsi orang tua terhadap anak, sehingga suatu hari nanti anak dapat mengambil kebijakan tanpa ragu-ragu.

 

Jadi, sekali lagi, peran seorang ayah  tentu tidak lepas dari konteks budayanya. Kalau kita melihatnya dari kaca mata budaya Indonesia, tidak ada judgment yang hitam putih. Seorang ayah harus mewariskan nilai-nilai keluarga dan budaya. Kalau dilihat dari konteks budaya asia secara umum, keterikatan orang tua dan anak akan berjalan terus dan tidak akan putus. Ini harus dipertahankan. Tentu saja seorang ayah akan mewariskan apa yang dianggapnya baik untuk anak-anaknya. Di sini referensi konteks baik tentu berhubungan konteks budaya yang kita miliki. Di samping itu, jangan lupa bahwa kita juga makhluk sosial, baik dalam konteks kecil maupun besar. Kita sebagai orang tua mengajari anak agar bisa beradaptasi, baik terhadap keluarga maupun terhadap lingkungan, dan agar mereka dapat memilah-milah mana konteks keluarga dan mana konteks masyakarat. Pada keluarga yang hidup di luar negeri tugas ini amat penting dan berat, tetapi tugas ini bisa dibagi antara ayah dan ibu (suami-istri, red). Itu sebabnya, suami dan istri harus memiliki komitmen bersama, misalnya menjadikan nilai agama sebagai pilar pendidikan anak.  Namun, orang tua harus menjadi contoh terlebih dahulu, sebelum mengajarkan sesuatu kepada anak, misalnya orang tua sendiri harus dapat mempertahankan nilai-nilai budaya. Dengan demikian orang tua dapat  berharap agar selain anak dapat beradaptasi dengan lingkungan dan budaya lain, dia tetap memiliki nilai-nilai budayanya sebagai salah satu pedoman dalam hidupnya. Ketika mereka dewasa, dasar-dasar itu akan menjadi salah satu patokan dalam hidup mereka.

 

Bagaimana memilah-milah dalam mengajarkan cinta, tanggung jawab dan disiplin kepada anak?

 

Tentunya rasa cinta tercurah dalam keseharian, misalnya dalam tegur sapa. Cinta merupakan nilai yang mengalir secara alami dalam hubungan keluarga. Namun, orang tua juga harus bertindak tegas kepada anak, dalam arti mendisiplin anak, karena anak adalah insan yang memerlukan bimbingan, didikan dan arahan dari orang tuanya. Seorang ayah harus bisa menetapkan waktu bagi anak kapan harus belajar, kapan harus bermain, dan kapan harus bersama-sama untuk berbagi rasa kasih. Itu perlu ditegakkan di dalam keluarga.

 

Dalam konteks cinta, tanggung jawab dan disiplin, komunikasi antara orang tua dan anak sangatlah penting. Orang tua harus dapat membangun sebuah komunikasi yang baik dengan anak. Memang ini tidak mudah dijalankan, karena kadang-kadang disiplin bertentangan dengan cinta kasih. Namun, anak harus diajarkan tanggung jawab dan disiplin. Mereka harus menaati aturan-aturan yang ada. Dalam hidup harus ada keseimbangan di antara tiga hal tersebut. Dengan demikian, akan tercipta keharmonisan. Ini sangat berguna bagi kehidupan anak, terutama untuk masa depannya nanti. Ini tugas orang tua untuk dapat menciptakan anak yang manusiawi, bukan robot.

 

Bagaimana perasaan pada saat anak harus berpisah jauh dari keluarga, misalnya karena harus sekolah, dan bagaimana strategi seorang ayah untuk yakin bahwa si anak dapat menjadi apa yang diharapkan?

 

Ini memang memerlukan satu sikap yg hati-hati bagi orang tua yang ingin melepas anaknya ke luar negeri. Pertama, kita harus menyiapkan mental, spiritual, intelektual si anak. Ketiga hal tersebut harus dimiliki seorang anak ketika ia hendak pergi jauh dari keluarga. Tentu sebagai ayah sulit melepas anak pergi jauh. Merasa khawatir dan was-was, kalau-kalau jika si anak tidak disiplin dan tidak melakukan apa yg menjadi tujuan kepergiannya. Kita sebagai orang tua tentu bisa memahami bahwa tidak semua yang kita inginkan dapat dilakukan anak, karena anak memiliki hak untuk menciptakan kehidupannya sendiri, dan sebagai orang tua kita harus memberi kesempatan kepada mereka untuk membangun karakternya di perantauannya. Jika orang tua mampu menanamkan tiga hal tadi di atas, yang merupakan pegangan hidup, kemungkinan besar harapan kita agar anak bisa berhasil di dalam menempuh pendidikannya akan tercapai.

 

Dasar-dasar nilai tersebut sudah harus ditanamkan sejak dini. Sejak awal seorang ayah harus sudah mempunyai patokan-patokan tentang apa-apa saja yang harus ditanamkan kepada anak dan sampai umur berapa hal-hal tersebut harus sudah ditanam. Misalnya, batasnya sampai mereka duduk di bangku SMA. Para orang tua pasti tahu bahwa setelah mulai umur sekian, seorang akan mulai menciptakan karakter hidupnya sendiri. Orang tua tidak bisa memaksakan kehendaknya. Ketika mulai dewasa, orang tua lebih pada doa, meminta kepada Tuhan agar anak-anak menjadi orang-orang dewasa seperti yang diharapkan.

 

Sebagai seorang ayah, tentu saja khawatir melepas anaknya pergi jauh, apalagi ke luar negeri. Salah satu cara yang dapat dilakukan orang tua dalam “memonitor” anak adalah melalui komunikasi. Komunikasi yang baik dengan anak harus dibangun sejak dini, dan ini merupakan tugas antara ayah dan ibu (suami dan istri, red). Bersyukur sekarang teknologi sudah sangat baik. Ini sangat membantu kelancaran komunikasi antara orang tua dan anak. Dalam hal komunikasi, peran ibu lebih instens daripara ayah. Namun demikian, ayah tetap harus berkomunikasi setiap hari dengan anak. Dengan demikian, kita tahu apa yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kalau memungkinkan, kita berkunjung menemuinya. Ini merupakan cara-cara yang cukup efektif untuk “mengontrol” kehidupan anak yang jauh dari kita. Kalau soal pertemanannya, memang sulit, krn kita tidak bisa tahu persisnya mereka berteman dengan siapa. Nah, di sinilah pentingnya menanamkan nilai-nilai mendasar yang disebutkan tadi sejak dini.

 

Bagaimana mengatur antara hak anak dan kewajiban ayah sebagai orang tua, apalagi jika anak yang berada jauh dari orang tua?

 

Pertama tentu kita harus membangun komunikasi yang baik dengan anak. Sekali lagi komunikasi merupakan faktor yang penting. Kemudian, kita perlu membangun pengertian pada anak bahwa apa yang diberikan pada anak merupakan sesuatu yang ditujukan untuk menunjang hidupnya dan proses belajar mereka. Melalui komunikasi, kita dapat berdiskusi dengan mereka. Si anak tidak tahu bahwa ia sedang dikontrol. Namun, sebagai orang tua kita harus sadar bahwa anak juga mempunyai hak untuk memiliki kehidupannya sendiri. Kita harus dapat memahami hal itu. Kita harus memberikan kebebasan kepada anak untuk membangun karakternya, tetapi orang tua tidak putus untuk memberikan saran dan nasehat agar mereka tetap berada pada jalurnya, misalnya untuk tidak boros, harus disiplin, tetapi pada waktu yang bersamaan mereka juga dapat menikmati hidup mereka, mengembangkan pribadi, dan keinginan yang positif. Jadi sekali lagi, komunikasi merupakan faktor penting. Nah, sekarang teknologi sudah maju; ada Whatsapps, Skype, dll. Teknologi ini dapat membantu proses komunikasi.

 

Kalau mengikuti ego ayah, tentunya seorang ayah ingin anaknya selalu berada dekat dengannya. Namun, kita harus sadar bahwa anak-anak pada akhirnya akan mempunyai kehidupan sendiri. Kita hanya bisa mencoba dan melihat sampai sejauh mana mereka bisa survive hidup sendiri. Kita harus bisa mendorong, misalnya agar mereka harus bisa terbuka dan harus bisa berteman dengan orang setempat. Ini kan juga menjadi tantangan untuk mereka, bahwa mereka harus keluar dari comfort-zone mereka.

 

Ketika seorang anak sudah mulai tumbuh sebagai orang dewasa sebenarnya orang tua hanya bisa pasrah. Pada saat mereka dewasa, kita sebagai orang tua hanya bisa mendukung, mengingatkan kembali nilai-nilai yang telah ditanamkan, misalnya untuk tidak hidup boros atau memiliki harga diri, melalui cerita-cerita yang pernah kita berikan, tetapi dalam versi sekarang. Orang tua juga harus menyadari bahwa jaman berubah dari waktu ke waktu.

 

Peran ayah terhadap anak apakah berbeda dalam setiap tahap kehidupan?

 

Benar, kita harus menyadari bahwa peran seorang ayah harus berbeda dari waktu ke waktu berdasarkan perkembangan dan umur anak, misalnya dalam cara berkomunikasi, dalam cara bersikap kepada si anak agar si anak punya penghargaan dan bisa  merespon dengan positif sikap orang tuanya. Banyak orang tua yang lupa hal ini. Mungkin karena sibuk dan tidak mempunyai waktu yang cukup, atau mungkin juga orang tua mengabaikan hal ini dan menanggap bahwa anak itu sama saja dari waktu ke waktu, sehingga dimungkinkan terjadinya konslet hubungan. Seorang ayah kan juga pernah menjadi anak dan memiliki pengalaman-pengalaman baik yang menyenangkan maupun tidak.

​

Wawancara: Evi Siregar

Ucapan terima kasih kepada Bapak Yusra Khan, Bapak Aji Setiawan, dan Bapak Agus Trikoro Cahyo.

​

==========================================================================================================================

​

Tamu istimewa Soerat Kabar: Butet Manurung

oleh Estudiantina Moors

​

Satu hari setelah peluncuran edisi perdana Soerat Kabar, redaksi segera mulai bekerja lagi untuk mempersiapkan edisi kedua. Seperti yang telah dijelaskan pada Secuil Goresan, rubrik Ulasan berisi tema utama Soerat Kabar setiap edisinya. Pucuk dicinta, ulam tiba. Ketika sedang merencanakan materi untuk mengisi Ulasan bulan ini, redaksi mendapat satu kejutan: kemungkinan untuk mewawancarai Butet Manurung! Siapa yang tak mengenal Butet Manurung, perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia? 

 

Saat muncul kesempatan mewawancarai Butet Manurung, Soerat Kabar tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Butet Manurung bukan hanya seorang perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia, tetapi juga seorang perempuan gigih yang peduli terhadap kemajuan masyarakat marginal. Dia meninggalkan kehidupan yang nyaman di kota dan masuk ke pedalaman, bersosialisasi dengan masyarakat terpencil, mempelajari bahasa dan budaya mereka sampai dia mengenal kebutuhan mereka, termasuk kebutuhan anak-anak di sana. Ini bukanlah satu pekerjaan yang mudah.

 

Apa yang dipikirkan Butet Manurung? Mengapa dia begitu peduli dengan pendidikan anak-anak di pedalaman? Bagaimana pendidikan Indonesia di mata Butet Manurung? Ia pun bercerita bahwa program pendidikan yang dibuat pemerintah seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di pedalaman. Menurutnya, kurikulum di setiap daerah seharusnya disesuaikan dengan kekuatan daerah masing-masing. Misalnya, daerah agraris seharusnya memperbanyak kurikulum pendidikan di bidang pertanian, supaya anak-anak di daerah tersebut bisa mengembangkan daerahnya semaksimal mungkin. Demikian juga bahwa pendidikan di daerah agraris seharusnya memiliki kurikulum yang berbeda dengan pendidikan di daerah pantai yang profesi penduduknya adalah pelaut.

 

Pada awalnya niat Butet adalah membantu masyarakat di pedalaman, terutama mendidik anak-anak di sana. Namun, kenyataan yang dihadapinya membuatkannya harus mengembangkan ide-idenya lebih luas lagi. Pertama kali masuk ke Rimba pada tahun 1999 dan mengajar Orang Rimba pada tahun 2000, yang kemudian proyeknya diberi nama Sokola Rimba, Butet dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti Kakak, berapa lama lagi kami harus belajar, supaya kami bisa melawan pencuri kayu? Dan melawan penipuan kelapa sawit? Itulah sebabnya, dari seorang aktivis lingkungan akhirnya juga menjadi aktivis HAM dan aktivis pendidikan advokasi, karena Butet melihat banyaknya masyarakat di pedalaman yang “dipaksa” untuk berubah menjadi pribadi yang lain, pribadi yang ragu pada kebudayaannya, yang dapat mengubah cara hidupnya. Orang Rimba yang biasa berburu, selain kini tak memiliki hutan yang luas lagi karena dibeli “orang kota”, “dipaksa” memakai baju dengan doktrin bahwa bercawat itu tidaklah pantas.

 

Itu sebabnya pula, program kerja Butet yang awalnya ingin mengajar anak-anak di pedalaman supaya mereka bisa membaca, menulis dan berhitung saja, dirasa tidak cukup. Anak-anak itu juga butuh pengetahuan bahwa setiap orang punya hak untuk memilih apa yang dia ingin lakukan untuk daerahnya dan tahu apa saja pilihan yang dia miliki.

 

Sejak pertama kali ia masuk hutan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak di pedalaman, sudah 19 tahun Butet mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan anak-anak di sana dengan metode yang dirancangnya sendiri berdasarkan pendekatan antropologis, yang dikenal dengan nama Sokola Rimba. Oleh karena kesuksesannya, akhirnya banyak sekolah yang menggunakan pola pendidikan yang diterapkan Butet di Sokola Rimba. Salah satunya adalah Sekolah Ketahanan Hidup di Aceh pasca tsunami 2004 lalu.

 

Saat ditanya apa suka dan duka mengajar dan bekerja di pedalaman, Butet tertawa. Bagi Butet, hutan adalah comfort-zone. “Jangan suruh aku kerja kantoran, di dalam ruangan ber-ac, aku ngga akan tahan,” begitu jawabnya di antara tawa lepasnya.

 

Ia meneruskan ceritanya bahwa sejak SMA ia sudah mulai naik gunung, bahkan dari kecil ia sudah suka hal-hal yang berbau petualangan, menonton tv dan membaca buku tentang hutan, tentang suku-suku di pedalaman. Itu sebabnya setelah lulus SMA dia mengambil studi Antropologi, berangan-angan hidup seperti Indiana Jones, bisa bekerja di pedalaman sambil berpetualang dan bisa berguna bagi orang lain. Setelah lulus kuliah, ia sempat bekerja di Greenpeace selama 4 tahun. Namun, Butet merasa bahwa sumber daya manusialah yang paling penting untuk dikembangkan. Jika manusia tahu bagaimana mempertahankan hidupnya, dia akan bekerja keras untuk melestarikan lingkungan hidup.

 

Butet tentu saja tidak bekerja sendiri. Ia memiliki kelompok relawan yang bekerja bersamanya di pedalaman. Mereka adalah orang-orang yang memang menyukai hutan, menikmati petualangan, suka berinteraksi dengan orang-orang Rimba, mau belajar bahasa dan budaya orang Rimba (termasuk juga tidak takut pada gelap karena listrik memang belum menjangkau daerah tersebut).

 

Ketika ditanya lebih lanjut mengenai kesukaannya dia tinggal di pedalaman, ia tak dapat menahan tawanya. “Makan selalu gratis, dan makanan itu pasti segar karena baru ditangkap (hasil berburu). Mau buang air besar tinggal pilih sendiri mau pakai toilet yang mana. Mau mandi, air tersedia dan mengalir di sungai tak henti-henti,” katanya sambil tertawa lepas.

 

Namun, ia menjelaskan lebih lanjut, “Pada awalnya tidaklah mudah, mereka mengusir kami. Saya dan teman-teman sangat sedih. Tiap kali masuk ke satu kampung, kami diusir. Susah sekali mendapatkan kepercayaan dari Orang Rimba.” Butuh waktu sampai 7 bulan untuk Butet dan teman-temannya untuk mendapatkan kepercayaan dari Masyarakat Rimba. Namun, duka yang paling besar adalah adanya ideologi mainstream yang memandang rendah Masyarakat Rimba. Misalnya, di Sumatra ada istilah kubu yang biasanya ditujukan kepada kelompok orang-orang bodoh, primitif, bau dan lain-lain. Kata ini pun menempatkan orang yang menyebutnya sebagai orang yang lebih beradab. Kata kubu ini sering sekali digunakan untuk sebutan Masyarakat Rimba. Kata ini juga yang membuat Masyarakat Rimba sempat menjadi suku yang takut kepada orang luar, padahal mereka adalah orang yang komunal, yang selalu berbagi, yang selalu hidup untuk memberikan kebaikan kepada kelompoknya.

 

Di akhir wawancara, Butet menjelaskan tentang mimpi dan keinginannya, supaya orang-orang yang tinggal di tempat-tempat terpencil mampu tampil percaya diri. Tidak mudah dibohongi orang luar, mampu membela diri saat ditindas secara mental maupun material. Tidak masalah apakah mereka kemudian mau jadi “orang kota” atau tetap menjadi Orang Rimba, asalkan mereka bisa memilih apa yang terbaik untuk dirinya dan untuk komunitasnya.

 

Terima kasih, Butet Manurung, atas segala dedikasimu dan kepedulianmu. Kami mengangkat topi buatmu. Semoga terus bermunculan Butet Manurung lainnya.


Wawancara: Estudiantina Moors

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Butet Manurung

​

==========================================================================================================================

​

Kartini dan Kita

oleh Luki Setiawan

 

Aduh, sedihnya pikiran semangat kadang-kadang tiada tertahan. Haruslah ada kerja yang mengasyikkan kami, yang tiada henti-hentinya mengikat perhatian kami, sehingga tiada sempat berpikir berazab hati; itulah cuma yang dapat membangunkan kembali keteguhan batin kami, yang meradam itu, itulah cuma yang sanggup mengembalikan keteguhan hati kami! Kerja, itulah dia; hasrat akan kerja yang kami cintai, karena itulah maka kami lesu terkulai itu. Celaka sangat rasanya merasa diri suka dan bernafsu akan bekerja, tetapi terkutuk berpangku tangan sepanjang masa!  

Armijn Pane (2000). Habis Gelap Terbitlah Terang, Balai Pustaka, h. 68.

 

Begitu banyaknya perempuan di Indonesia, tua muda, besar kecil, sibuk merayakan hari lahirnya ibu Kartini pada tanggal 21 April setiap tahun. Simbol kebangkitan kaum perempuan Indonesia yang digaungkan oleh pahlawan kita, Raden Adjeng Kartini. Sebagian dari mereka dengan bangga dan riang gembira mengenakan kebaya; sementara, sebagian lainnya sibuk mengatur barisan di jalan raya meneriakkan slogan-slogan dengan spanduk besar yang intinya menyuarakan cita-cita Kartini, emansipasi, serta kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Di belahan lain dunia, atas nama Women’s Day, juga masih banyak unjuk rasa dan slogan-slogan yang menyuarakan kebutuhan kaum perempuan untuk mendapat kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki, baik itu dari segi kesempatan kerja maupun besarnya gaji.

 

Sedemikian pentingnya masalah persamaan hak kaum perempuan, sehingga bahkan badan dunia PBB merasa perlu memasukkan hal itu sebagai tugas yang harus segera dipenuhi dalam kesepakatan Addis Ababa Action Agenda 2015 yang menyatakan pentingnya gender equality and women’s and girls’ empowerment, khususnya dalam kaitannya dengan kesejahteraan ekonomi (informasi lengkap lihat https://developmentfinance.un.org/gender-equality -and-womens-empowerment). Akan tetapi, jika mengacu pada bagian dari surat-surat Kartini di atas, yang tersirat adalah keinginan untuk melakukan sesuatu – bekerja – dan tidak hanya berpangku tangan. Bekerja artinya melakukan sesuatu yang bermanfaat, yang membuat diri merasa berdaya dan berguna. Sama sekali tidak tersirat keinginan untuk bersaing dengan kaum laki-laki seperti yang banyak disalah artikan dari kata ‘emansipasi perempuan’. “Bukanlah laki-laki yang hendak kami lawani, melainkan pendapat kolot dan usang, yang tiada gunanya lagi bagi tanah Jawa kami di masa yang akan datang”, demikian ungkap Kartini.

 

Adanya kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menimbulkan rasa bahwa kita mampu melakukan sesuatu, itu yang perlu digarisbawahi dari semangat Kartini. Hal ini pada dasarnya senada dengan prinsip will to meaning Viktor Frankl yang ditulisnya di dalam bukunya The will to meaning, yang dalam dunia psikologi, mengacu pada ‘melakukan hal-hal yang memberi makna dalam hidup kita sendiri’. Melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk membuat diri kita berdayaguna. Perasaan berdaya dan berguna, akan membentuk tujuan hidup yang positif. Hal ini biasanya berhubungan erat dengan apa yang kita lakukan. Entah itu usaha mendalami agama kita, ikut aktif dalam keanggotaan suatu kelompok tertentu, ikut terlibat menunjang suatu kegiatan, terus-menerus mempelajari ketrampilan atau ilmu tertentu, atau bahkan memiliki gambaran dan tujuan yang jelas tentang apa yang akan dicapai dalam hidup. Jadi, tidak selalu harus dikaitkan dengan pekerjaan yang menghasilkan uang, tetapi justru kegiatan yang membuat diri kita merasa bermakna dan menghasilkan manfaat bagi banyak orang.

 

Lalu bagaimana perempuan bisa berperan penting dalam proses kesamaan derajat itu? Bila dirunut ke belakang, keadaan yang dihadapi perempuan dewasa berawal dari ketrampilan atau ilmu yang dimiliki. Perempuan dengan banyak ketrampilan atau ilmu, tentu akan lebih mudah untuk memilih pekerjaan di antara sekian banyak lapangan kerja yang tersedia. Suatu ketrampilan dalam memasak saja, misalnya, tentu celah apapun di bidang kuliner akan terbuka. Misalnya, menyusun menu baru, membuat masakan diet, membuka kursus masak. Apalagi bila ditambah dengan ketrampilan lain seperti cakap berbahasa daerah dan/atau bahasa asing, mahir dengan angka, mahir olahraga, dan sederet ketrampilan lain.

 

Apa yang dapat kita tarik dari sini? Salah satu hal penting adalah mendidik anak perempuan sejak dini. Di sini sangat penting peran orang dewasa untuk mendidik anak-anak (khususnya perempuan). Anak sebaiknya sudah dilibatkan dalam berbagai kegiatan sesuai kemampuan usianya. Misalnya, ikut membantu dalam tugas-tugas rumah tangga, ikut serta dalam kegiatan sosial, serta dibekali dengan sebanyak mungkin ketrampilan seperti olahraga dan seni. Ajaklah anak-anak perempuan untuk ikut terlibat dalam percakapan yang biasanya dianggap sebagai ‘ranahnya laki-laki’ seperti  topik teknologi, ekonomi, politik, dan sosial. Dengarkan pendapat mereka sesuai dengan kemampuan berpikirnya, sehingga kemampuan bicara dan nalar berpikir mereka terasah sejak kecil. Bagaimanapun, ketrampilan berbicara memiliki peranan penting dalam mengembangkan pola berpikir dan mempengaruhi rasa percaya diri yang diperlukan untuk mulai melakukan apapun yang bermanfaat.  

 

Selain itu, orang tua harus mengajarkan anak perempuan dan laki-laki usia balita tentang peran sesuai jenis kelaminnya (gender identity) merupakan hal yang penting. Misalnya rok dan pita rambut untuk anak perempuan, celana dan kemeja untuk anak laki-laki. Akan tetapi, jika kemudian dalam kehidupan sehari-hari kita hanya memuji mereka pada kualitas fisik seperti ‘anak yang cantik’, dan bukan pada kualitas non-fisik seperti ‘anak yang penolong’ atau ‘anak rajin’ atau ‘anak pandai”, kita sebetulnya mulai melupakan esensi dari penerapan pendidikan kesetaraan gender yang digembor-gemborkan di atas. Sebab, kualitas fisik akan mendominasi kualitas non fisik, sehingga anak akan lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat lahiriah/fisik. Bisa jadi, misalnya, anak akan belajar sebagai bentuk kewajiban, bukan kebutuhan. Gelar siswa terbaik atau insinyur cumlaude dari universitas terkemuka merupakan tuntutan dari orangtua yang harus mereka kejar, tetapi bukan kebutuhan yang ingin mereka penuhi. Dan pada akhirnya, saat masuk usia dewasa, pekerjaanpun akan dilakukan sebagai bentuk kewajiban mencari penghasilan tanpa usaha untuk berbuat lebih baik dan lebih berdayaguna.

 

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memberikan contoh dan dukungan pada anak. Sudah banyak penelitian, misalnya Therry Faw yang menulis Theory and problems of Child’s Psychology: Shaum’s Outline series in Social Sciences0, yang membuktikan bahwa proses anak  belajar adalah melalui cara dengan meniru, yaitu meniru apa yang mereka lihat dan alami. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika orangtua (baik tokoh laki-laki maupun perempuan) bisa berperan aktif dalam mendidik anak perempuan untuk mandiri, merasa berdaya guna dan bermanfaat. Ajaklah anak perempuan ikut ke tempat kerja ibu dan/atau ayahnya. Ajak mereka ikut dalam kegiatan sosial yang orangtuanya ikuti, dan berilah tugas-tugas sederhana yang bisa mereka lakukan. Pelajari banyak ketrampilan dan ilmu, ikuti perkembangan dunia melalui media sosial dan ajak anak untuk ikut terlibat. Pilihkan buku dan film yang memancing proses berpikir logis mereka, dan beri waktu untuk mendiskusikan pertanyaan mereka.

  

Pada saat bicara tentang persamaan hak, pasti ada istilah pendayagunaan. Semua perempuan bisa membuat dirinya berdaya guna, entah itu dalam bentuk sumbangan fisik (tenaga) ataupun nonfisik (ide-pemikiran), atau menghasilkan karya dalam bentuk materi (uang) maupun non materi (kerja sosial). Pada usia berapapun, kondisi kesehatan fisik yang bagaimanapun, dan di manapun kita berada, keberdayagunaan itu bisa kita wujudkan selama masih ada kemauan. Bekerja untuk materi/mencari uang pada masa ini bisa dilakukan tanpa kehadiran secara fisik. Jika materi sudah bukan menjadi tujuan utama, maka bekerja untuk mengaktualisasi diri juga bisa dilakukan melalui banyak kegiatan. Perasaan berdaya sebagai individu, sangat penting untuk tercapainya kesehatan fisik dan jiwa. Dan pada akhirnya semua semangat itu akan ditiru oleh anak-anak perempuan di sekitar kita, sesuai impian Kartini yang tertulis dalam surat-surat yang ditulisnya. Selamat hari Kartini, hari kebangkitan kaum perempuan Indonesia.

​

bottom of page